PEMBAHASAN A. Sejarah Kampung Adat Dukuh Dalam kisah tradisi yang dipercayai masyarakat setempat bahwa yang berjasa sebagai pendiri Kampung Dukuh adalah Syekh Abdul Jalil. Menurut cerita pada abad ke-17, Rangga Gempol II yang saat itu menjadi Bupati Sumedang yang berada di bawah kekuasaan Mataram, menghadap penguasa Mataram dan mohon agar menunjuk seorang hakim/penghulu/kepala agama pengganti yang telah meninggal. Sultan mengatakan bahwa penghulu pengganti tidak usah dicari jauh-jauh karena orang tersebut ada di pedesaan Pasundan. Rangga Gempol II kemudian mencari orang yang dimaksud dan akhirnya bertemu dengan Syekh Abdul Jalil, pemimpin sebuah pesantren yang mempunyai murid-murid cukup banyak. Syekh Abdul Jalil bersedia menjadi hakim/penghulu/kepala agama dengan syarat entong ngarempak syara yang artinya jangan melanggar syara (hukum/ajaran Islam) seperti membunuh, merampok, mencuri, perzinahan dan sebagianya, dan apabila syarat tersebut tidak diindahkan, maka jabatan sebagai penghulu akan segera diletakkan. Dua belas tahun sejak pengangkatan menjadi penghulu dan selama itu aturan-aturan agama tidak ada yang melanggar. Akan tetapi ketika Syekh Abdul Jalil berangkat ke Mekah untuk menunaikan ibadah haji, Sumedang kedatangan utusan Banten yang meminta agar Sumedang tidak tunduk dan memberi upeti ke Mataram, tetapi tunduk ke Banten dan bersama-sama memerangi Mataram. Rangga Gempol II marah dan utusan Banten Jagasatru malah dibunuh atas perintahnya, mayat itu dibuang ke hutan agar tidak diketahui oleh Banten dan Syekh Abdul Jalil. Walau bagaimanapun kuatnya menutupi rahasia, akhirnya peristiwa pembunuhan itu diketahui Syekh Abdul Jalil sekembali dari Mekah, dari informasi temannya Ki Suta. Kemudian Ia langsung meletakkan jabatan sebagai penghulu Sumedang sesuai dengan perjanjian sebelumnya. Walaupun Rangga Gempol II mohon maaf dan berjanji tidak akan pernah melakukan pelanggaran syara lagi, Syekh Abdul Jalil tetap dengan pendiriannya untuk meninggalkan jabatan itu. Sebelum meninggalkan Sumedang, ia sempat berkata” sebentar lagi Sumedang akan diserang oleh Banten”. Ternyata perkataanya terbukti. Pada Hari Jum’at bertepatan dengan Hari Raya idul Fitri, Sumedang diserang oleh Banten yang dipimpin oleh Cilikwidara dan Sumedang mengalami kehancuran. Syekh Abdul Jalil kemudian pergi ngalanglang buana (mengelilingi dunia atau berpindah-pindah dari satu temapt ke tempat lainnya) mencari tempat bermukim yang dirasa cocok untuk dijadikan tempat menyebarkan ilmu dan agamanya. Di setiap tempat yang disinggahinya Ia selalu bertafakur, memohon petnjuk Allah untuk mendapatkan tempat yang cocok dan tenang dalam beribadah dan menjalankan atau mengajarkan agamanya. Pada tanggal 12 Maulud Bulan Alif (tidak ada keterangan yang pasti mengenai tahun yang tepat) ketika selesai tafakur di Tonjong, Ia mendapat petunjuk di langit berupa sinar sagede galuguran kawung atau sebesar pohon aren. Sinar tersebut bergerak menuju suatu arah tertentu, yang kemudian diikuti oleh Syek Abdul Jalil, dan berhenti di suatu daerah di antara Sungai Cimangke dan Cipasarangan. Daerah tersebut ternyata telah dihuni oleh suami istri yang bernama Aki (kakek) dan Nini (nenek) Candradiwangsa. Syeckh Abdul Jalil bermukim di tempat tersebut dan dipercayai oleh masyarakat setempat sebagai cikal bakal Kampung Dukuh. Diperkirakan, Syekh Abdul Jalil mulai menempati Kampung Dukuh pada tahun 1685. Menurut buku Babad Pasundan (diterbitkan 1960), penyerangan Cilikwidara (Banten) ke Sumedang terjadi pada tahun 1678. Sedangkan pengembaraan Syekh Abdul Jalil yang tercatat dalam buku yang disimpan kuncen memakan waktu ± 7 tahun. Menurut cerita nama dukuh diambil dari bahasa Sunda yang berarti tukuh (kukuh, patuh, teguh), dalam mempertahankan apa yang yang menjadi miliknya, atau taat dan sangat patuh menjalankan tradisi warisan nenek moyangnya. Menurut penuturan (2006) Lukmanul Hakim, Juru Kunci (Kuncen) Kampung Dukuh istilah dukuh berasal dari padukuhan atau dukuh = calik = duduk. Jadi padukuhan sama dengan pacalikan atau tempat bermukim. Menurut mantan Lurah Cijambe, yaitu Uung Supriyadin, nama Dukuh dikenal kira-kira pada tahun 1901 yaitu pada waktu berdirinya Desa Cijambe. Sebelum tahun 1901 tidak dapat keterangan apa nama kampung tersebut. Sejak berdiri sampai sekarang, Kampung Dukuh sudah mengalami dua kali dibumihanguskan. Peristiwa pertama pada tahun 1949 yaitu pada masa agresi Belanda yang ke-2, perkampungan dibakar sendiri oleh penduduk karena takut jatuh ke tangan penjajah. Kedua, pada masa terjadinya pembrontakan DI/TII dengan dalangnya Kartosuwiryo. Pembakaran dilakukan oleh pemerintah karena Kampung Dukuh yang tanahnya subur dikhawatirkan akan dijadikan basisi oleh pasukan DI/TII. Kemudian baru-baru ini terjadi peristiwa kebakaran pada tahun 2006 yang menyebabkan hampir semua bangunan rumah habis terbakar. Berkat swadaya masyarakat dan bantuan pemerintah dibangun kembali Kampung Dukuh dengan tradisi yang tetap melekat kuat dalam proses pembangunan perkampungan tersebut. Kampung Dukuh merupakan kesatuan pemukiman yang mengelompk, terdiri atas beberapa puluh rumah yang berjajar pada kemiringan tanah yang bertingkat. Pada tiap tingkatan terdapat sederetan rumah yang membujur dari arah barat ke timur. Letak antar rumah hampir berdempetan, sehingga jalan kampung terletak di sela-sela rumah penduduk berupa jalan setapak. Kampung Dukuh terdiri atas dua daerah pemukiman yaitu Dukuh Luar (Dukuh Landeuh = bawah) dan Dukuh Dalam (Dukuh Tonggoh = atas). Selain Dukuh Luar dan Dukuh Dalam, terdapat wilayah lain yang bernama Tanah Karomah (tanah keramat). Di dalam wilayah Tanah Karomah terdapat Makam Karomah (makam keramat). Di antara ketiga wilayah ini dibatasi oleh pagar tanaman. Dukuh Dalam terdiri atas 42 rumah, dengan bentuk, arah membujur dan bahan bangunan yang sama. Jumlah ini tetap, karena tidak ada lagi tanah kosong yang bisa dijadikan tempat berdirinya sebuah rumah. Terdapat peraturan-peraturan yang mengikat penduduknya berupa peraturan tidak tertulis atau bersifat tabu, misalnya tidak boleh menjulurkan kaki ke arah makam keramat yang ada di sebelah utara kampung, tidak boleh makan sambil berdiri, tidak boleh menggunakan barang-barang elektronik dan tidak boleh membuat rumah lebih bagus dari pada tetangganya. Dukuh luar merupakan bagian dari kampug yang berada di luar batas taneuh karomah. Segala peraturan tidak berlaku dengan ketat. Bahkan dalam perkembangan sekarang sudah banyak dijumpai bangunan-bangunan yang memakai bahan-bahan yang di Dukuh Dalam tabu untuk dipakai, misalnya genteng, kaca, papan. Walaupun demikian arah rumah-rumah masih tetap dari timur ke barat dan pintu rumah tidak menghadap ke makam keramat. B. Adat Istiadat yang Masih Berlaku dan Sudah Tidak Berlaku Sesuai dengan perkembangan zaman kebudayaan di masyarakat Kampung Adat dukuh ada yang masih berlaku dan ada juga yang sudah tidak berlaku. Begitu banyak kebudayaan masih berlaku di masyarakat Kampung Dukuh Garut. Mereka juga melaksanakan upacara "Moros", sebagai wujud masyarakat adat untuk memberikan hasil pertanian kepada pemerintahan setempat. Ciri khas lainnya hingga kini sama sekali tidak terpengaruh oleh kemajuan jaman, bahkan nyaris tidak mengenal perkembangan IPTEK. Kawasan Kampung Dukuh seluas 10 ha tediri 7 ha Wilayah Kampung Dukuh Luar, 1 ha Kampung Dukuh Dalam serta sisanya merupakan lahan kosong atau lahan produksi, terdapat pula areal yang dikenal wilayah "Karomah". sebagai lokasi makam "SyekhAbdul Jalil". Di kampung "Dukuh Dalam" hanya terdapat 42 rumah dan bangunan Mesjid, dihuni 40 Kepala Keluarga (KK) atau 172 orang, sedangkan Kampung "Dukuh Luar" dihuni 70 KK, dengan mata pencaharian utamanya bertani, beternak ayam, bebek, kambing, domba, kerbau serta memelihara ikan dan usaha penggilingan padi. Pola budaya aspek non fisiknya berupa ritual budaya antara lain "ngahaturan tuang" (menawari makan), merupakan adab masyarakat kepada pengunjung dari luar. Jika memiliki keinginan tertentu seperti kelancaran usaha, perkawinan, jodoh, mereka memberi garam, kelapa, telur ayam, kambing atau lainnya sesuai kemampuan. Kemudian "nyanggakeun" (menyerahkan), kegiatan penyerahan sebagian hasil pertanian kepada "Kuncen" (juru kunci) untuk diberkahi, dan masyarakat-pun tidak dirbolehkan memakan hasil panennya sebelum melakukan kegiatan Nyanggakeun. Selanjutnya "tilu waktos" (tiga waktu), sebagai ritual yang dilakukan Kuncen yakni dengan membawa makanan ke dalam "bumi alit atau bumi lebet" (rumah kecil atau rumah dalam) untuk "tawasul", Kuncen membawa sebagian makanan ke Bumi Allit lalu berdoa, yang biasanya dilakukan pada 1 Syawal, 10 Rayagung, 12 Maulud, 10 Muharam. "Manuja", yakni penyerahan bahan makanan hasil bumi kepada Kuncen untuk diberkati pada lebaran Idul Fitri dan Idul Adha sebagai bentuk perayaan. "Moros", merupakan kebiasaan untuk menyerahkan hasil-hasil bumi yang dimiliki kepada aparat pemerintah seperti lurah dan camat. Cebor Opat Puluh, adalah mandi dengan empat puluh kali siraman air dari pancuran yang dicampur dengan air khusus namun telah diberi doa-doa pada jamban umum. Jaroh, merupakan bentuk kegiatan berziarah ke makam Syekh Abdul Jalil, tapi sebelumnya harus melakukan mandi cebor opat puluh dan mengambil air wudhu serta menanggalkan semua perhiasan serta menggunakan pakaian yang tidak bercorak. Shawalatan, dilakukan pada hari Jumat di rumah kuncen, berupa Shalawatan Karmilah sejumlah 4.444 kali yang dihitung dengan menggunakan batu. Sebelasan dilakukan setiap tanggal 11 dalam perhitungan bulan Islam dengan membaca Marekah, Terbang Gembrung merupakan kegiatan yang dilakukan pada tanggal 12 Maulud yang dilakukan para orang tua Kampung Dukuh. Terbang Sejak, merupakan suatu pertunjukan pada saat perayaan seperti khitanan dan pernikahan, yakni sebagai pertunjukkan pertunjukan debus. Maka terdapat hari-hari penting dan hari besar di Kampung Dukuh antara lain, 10 Muharam, 12 Maulud, 27 Rajab, 1 Syawal Idul Fitri serta pada setiap 10 Rayagung, dengan hari pentingnya Sabtu (Pelaksanaan Ziarah), Rebo Welasan (Hari terakhir bulan Sapar). Seluruh sumber air yang digunakan masyarakat diberi "jimat" (keampuhan) sebagai penolak bala, dan biasanya diwajibkan untuk digunakan mandi, bahkan pada 14 Maulud dipercaya sebagai hari paling baik untuk menguji dan mencari ilmu kepada para guru dengan melakukan cebor opat puluh, juga terdapat tradisi 30 Bewah sebagai persiapan menjelang melaksanakan ibadah puasa Ramadhan, kata Yayan. Di sam ping itu ada juga kebudayaan yang sudah tidak berlaku lagi di masyarakat Kampung Adat Dukuh, yakni: Dulu tata krama ketika akan masuk ke kampung Adat Dukuh tidak boleh memakai sandal dan ketika hujan tidak boleh memakai paying tetapi untuk sekarang ini hal tersebut sudah tidak berlaku lagi. Entah apa alasannya tetapi hal ini tidak lepas dari perkembangan zaman. C. Sistem Organisasi Sosial Masyarakat Kampung Adat Dukuh Masyarakat Kampung Adat Dukuh memiliki sistem kemasyarakatan yang sudah tertata dengan baik dan berjalan sejak ratusan tahun yang lalu. Hal ini terbukti dengan berjalannya sistem organisasi sosial yang ada di masyarakat Kampung Adat Dukuh dan tidak pernah berubah dari masa ke masa dan masih berjalan samppai saat ini dan akan datang. Sistem organisasi sosial yang mereka gunakan menganut sistem kokolotan yang berasaskan pada ajaran islam selain berpola budaya berlandaskan religi yang sangat kuat, juga berpandangan hidup berlandas pada sufisme dengan berpedoman pada Mazhab Imam Syafii. Sistem kokolotan dimaksud adalah suatu sistem organisasi sosial yang menghargai dan menghormati para kasepuhan atau kokolot dan karuhun atau nenekmoyang mereka menitipkan atau mengamanatkan kepada anak cucunya di Kampung Adat Dukuh agar tetap menjalankan ajaran yang telah diwariskan kepadanya. Untuk menjalankan roda organisasi kemasyarakatan tersebut mereka berpedoman pada ajaran agama islam dengan madzhab Imam Syafi’i. Sehingga landasan budaya tersebut, berpengaruh pada bentukan fisik pedesaan dan adat istiadat masyarakatnya, yang sangat menjunjung keharmonisan serta keselarasan hidup bermasyarakat. Masyarakatnya homogen dan hidup terpencil dari keramaian kota dan perkampungan lain. Menurut tradisi yang hidup sampai sekarang, masyarakat adat Kampung Dukuh sangat mematuhi kasauran karuhun (nasehat leluhur). Nasehat ini menganjurkan hidup sederhana, sopan santun, tidak berlebihan dan tidak mengejar kesenangan duniawi, serta tetap memegang prinsip kebersamaan. Selain itu, ada adat tabu (larangan) yang tetap dipegang sehingga pola kampung dan kebiasaan-kebiasaan sehari-hari tetap terjaga. Kemudian peranan kuncen sebagai pemimpin non formal dianggap sebagai pelindung adat istiadat yang kewibawaannya sangat berpengaruh. D. Sistem perkawinan Sistem perkawinan masyarakat Kampung Adat Dukuh menganut sistem perkawinan bebas yang sesuai dengan ajaran islam. Aturan di kampung dukuh memperbolehkan masyarakatnya untuk menikah dengan siapa aja yang dicintainya asalkan tidak bertentangan dengan ajaran islam. Warga Kampung dukuh bisa menikah dengan warga di luar kampung dukuh begitu juga sebaliknya. E. Sistem Waris Selain sistem perkawinan sistem pembagian waris pun di sesuaikan dengan ajaran islam. Di mana laki-laki disebut “nanggung” sedangkan perempuan disebut “ngais” artinya bagian waris untuk anak laki-laki dua kali lipat dari anak perempuan. Pada intinya pembagian waris di Masyarakat Kampung Dukuh menganut dua hukum dalam pembagian waris 1. Hukum Adil Artinya orang tua membagi warisannya secara adil sesuai kodratnya yang tertulis di dalam alquran yakni anak laki-laki mendapat warisan dua kali lipat dari anak perempuan dan anak perempuan mendapat bagian setengahnya dari anak laki-laki (2:1). 2. Hukum Biridho Artinya orang tua membagi rata harta warisannya untuk anak-anaknya tanpa melihat perbedaan kelamin sehingga anak laki-laki dan anak perempuan mendapat bagian yang sama. Di sini anak laki-laki harus ikhlas (ridho) agar warisan bagiannya disamaratakan dengan saudara perempuannya. F. Pantangan yang Berlaku di Masyarakat Kampung Dukuh Sesuai dengan pola pikir masyarakat Indonesia yang salah satunya adalah Relegio Magis yang di dalamnya terdapat pantangan. Begitu juga di masyarakat Kampung Adat Dukuh yang memiliki banyak pantangan yang tidak boleh dilanggar oleh masyarakatnya, diantaranya: Tidak makan dengan tangan kanan dan kiri seperti halnya orang-orang kaya pada zaman sekarang; tidak boleh makan sambil berdiri apalgi sambil berjalan; Diam atau duduk di pintu; Kaki tidak boleh membujur ke utara karena terdapat makam keramat ”Syeh Abdul Jalil” yang merupakan pendiri Kampung Adat Dukuh; Kencing dan buang hajat harus menghadap ke barat; Rumah-rumah tidak boleh mengahadap ke utara; Tidak diperkenankan pula adanya prasarana listrik dan pemasangan televisi serta radio, yang mereka yakini selain mendatangkan manfaat yang banyak, juga bisa mendatangkan banyak kemudaratan; Ketika ziarah ke makam Syeh Abdul Jalil harus memakai baju khusus yang telah disediakan yang berbentuk ”gamis” dengan warna putih polos; PNS tidak boleh zaiarah ke makam Syeh Abdul Jalil; Terhadap wali yang meninggal tidak boleh menyebut ”maot” tetapi ”ngalih tempat”;
DISKUSI A. Sajarah Kampung Adat Dukuh Dina carita tradisional, masarakat satempat dipercaya yén anu jadi pangadeg Kampung Dukuh nyaéta Syéh Abdul Jalil. Nurutkeun carita dina abad ka-17, Rangga Gempol II nu harita jadi Bupati Sumedang dina kakawasaan Mataram, indit ka para pangawasa Mataram sarta ménta pikeun ngangkat hakim/penghulu/kapala agama gaganti. Sultan ngadawuh, panghulu gaganti teu kudu diteangan jauh sabab jalmana aya di kampung Pasundan. Rangga Gempol II tuluy néangan jalma nu dimaksud sarta ahirna papanggih jeung Syekh Abdul Jalil, pamingpin hiji pasantrén anu jumlah santrina lumayan loba. Syekh Abdul Jalil daek jadi hakim/pemimpin agama/kepala agama kalawan syarat entong ngarempak syara, hartina ulah ngalanggar syara (hukum/ajaran Islam) saperti maehan, rampog, maling, zinah jeung sawareh deui. sarta lamun kaayaan ieu teu dimangfaatkeun, mangka kalungguhan salaku pamingpin bakal geuwat nempatkeun. Dua belas taun ti saprak diangkat jadi penghulu sarta salila éta henteu aya aturan agama anu dilanggar. Nanging, nalika Syekh Abdul Jalil angkat ka Mekah pikeun ngalaksanakeun ibadah haji, Sumedang ngagaduhan utusan Banten anu naroskeun ka Sumedang supados henteu nyerah sareng masihan upeti ka Mataram, tapi nyerah ka Banten sareng babarengan ngalawan Mataram.Rangga Gempol II ambek utusan Banten Jagasatru dipaehan ku parentahna, mayitna dialungkeun ka leuweung sangkan Banten jeung Syeh Abdul Jalil teu nyahoeun. Teuing kumaha kuatna anjeunna nyumputkeun rusiah, ahirna Syekh Abdul Jalil manggihan kajadian rajapati nalika balik ti Mekah, tina katerangan ti sobatna Ki Suta. Lajeng anjeunna langsung nempatkeun jabatanna salaku kapala Sumedang luyu jeung perjangjian saméméhna. Sanajan Rangga Gempol II menta hampura sarta jangji moal ngalanggar syara deui, Syekh Abdul Jalil tetep dina kalungguhanana ninggalkeun jabatanana. Samemeh indit ti Sumedang, manehna kungsi nyarita “Moal lami deui Sumedang diserang ku Banten”. Tétéla kecap-kecapna kabuktian. Dinten Jumaah pas lebaran, Sumedang diserang ku Banten anu dipingpin ku Cilikwidara sareng Sumedang ancur. Syekh Abdul Jalil tuluy ngumbara ka alam dunya (nguriling dunya atawa pindah ti hiji tempat ka tempat nu sejen) néangan tempat cicing anu dirasa cocog pikeun dijadikeun tempat nyebarkeun élmu pangaweruh jeung agamana. Di saban tempat singgahna, sok semedi, nyuhunkeun pituduh ka Alloh supados milarian tempat anu merenah tur sepi pikeun ibadah sareng ngalaksanakeun atanapi ngajarkeun agamana.Kaping 12 Maulud Bulan Alif (teu aya katerangan anu pasti ngeunaan taun pastina) sabada tamat semedi di Tonjong, katembong di awang-awang sinar sagede galururan kawung atawa sagede tangkal korma. Sinar obah ka arah nu tangtu, nu dituturkeun ku Syekh Abdul Jalil, eureun di wewengkon antara walungan Cimangke jeung Cipasarangan. Tétéla éta wewengkon dicicingan ku salaki pamajikan nu ngaranna Aki (akina) jeung Nini (nini) Candradiwangsa. Syéh Abdul Jalil cicing di éta tempat sarta dipercaya ku masarakat satempat minangka cikal bakal Kampung Dukuh. Diperkirakeun Syekh Abdul Jalil mimiti nempatan Kampung Dukuh dina taun 1685. Numutkeun buku Babad Pasundan (diterbitkeun taun 1960), serangan ka Cilikwidara (Banten) nepi ka Sumedang lumangsung dina taun 1678. Samentara éta, pangumbaraan Syekh Abdul Jalil kacatet dina buku anu disimpen. ku kuncen nyandak ± 7 taun. Nurutkeun carita, ngaran dukuh téh dicokot tina basa Sunda anu hartina teguh (teguh, taat, tabah), dina ngajaga naon nu jadi milikna, atawa taat jeung taat pisan dina ngalaksanakeun tradisi warisan ti karuhunna. Nurutkeun narasi (2006) Lukmanul Hakim, Juru Kunci (Kuncen) Kampung Dukuh istilah dukuh asalna tina padukuhan atawa dukuh = calik = diuk. Jadi padukuhan sarua jeung pacalikan atawa tempat cicing.Nurutkeun urut Kapala Désa Cijambe, Uung Supriyadin, ngaran Dukuh geus dipikawanoh kira-kira taun 1901, waktu ngadegna Désa Cijambe. Saméméh taun 1901 can aya katerangan ngeunaan naon ngaran éta désa. Ti mimiti ngadeg nepi ka ayeuna, Kampung Dukuh geus dua kali kaduruk nepi ka taneuh. Kajadian kahiji dina warsih 1949 nyaéta mangsa agresi Walanda ka-2, éta désa diduruk ku warga sorangan alatan sieun murag ka leungeun penjajah. Kadua, dina mangsa pemberontakan DI/TII jeung dalang Kartosuwiryo. Pamarentah ngadurukan lantaran kampung Dukuh anu taneuhna subur dipikahariwang dijadikeun markas pasukan DI/TII. Lajeng nembe aya kajadian kahuruan taun 2006 anu ngabalukarkeun ampir sakabéh imah kaduruk. Berkat swadaya masarakat jeung bantuan pamaréntah, Désa Dukuh diwangun deui kalayan tradisi anu tetep pageuh dina prosés pangwangunan désa. Kampung Dukuh mangrupa hiji padumukan anu gumulung, diwangun ku sababaraha puluh imah anu ngajajar dina lamping taneuh. Dina unggal tingkat aya jajar imah manjang ti kulon ka wétan. Letak imah-imahna ampir padeukeut, nepi ka jalan désa aya di sela-sela imah warga dina wangun jalan satapak. Kampung Dukuh diwangun ku dua wewengkon padumukan, nyaéta Dukuh Luar (Dukuh Landeuh = handap) jeung Dukuh Dalam (Dukuh Tonggoh = luhur).Salian ti Dusun Luar jeung Dusun Batin, aya deui wewengkon anu disebut Tanah Karomah (tanah suci). Di wewengkon Tanah Karomah aya Makam Karomah (makam keramat). Antara tilu wewengkon ieu diwatesan ku pager hirup. Dukuh Dalam diwangun ku 42 imah, bentukna sarua, arah longitudinal jeung bahan wangunan. Jumlah ieu maneuh, lantaran teu aya deui lahan kosong anu bisa dijadikeun tempat nyieun imah. Aya aturan anu ngabeungkeut penduduk dina bentuk peraturan anu teu katulis atawa tabu, upamana teu meunang nempelkeun sukuna ka arah makam karamat di kaler kampung, teu meunang dahar bari nangtung. teu meunang make barang elektronik jeung teu meunang nyieun imah leuwih gede.leuwih hade tinimbang tatanggana. Dusun luar mangrupa bagian tina kampung anu diluar wates taneuh karomah. Sadaya peraturan henteu berlaku sacara ketat. Malah dina kamekaran jaman kiwari geus loba kapanggih wangunan anu ngagunakeun bahan-bahan anu tabu di Dukuh Dalam, contona ubin, kaca, papan. Sanajan kitu, arah imah masih ti wétan ka kulon jeung panto imah teu nyanghareupan makam karamat. B. Adat istiadat anu masih kénéh sah jeung teu sah deui Luyu jeung kamekaran jaman kabudayaan di masarakat kampung adat, aya nu masih berlaku jeung aya nu geus teu valid. Ku kituna masih kénéh loba kabudayaan anu dilarapkeun di masarakat Kampung Dukuh Garut.Éta ogé ngalaksanakeun upacara "Moros", salaku wujud masarakat adat pikeun nyayogikeun hasil tatanén ka pamaréntah daérah. Ciri séjénna nepi ka ayeuna mah sagemblengna teu kapangaruhan ku kamajuan jaman, malah bieu teu wawuh jeung kamekaran élmu pangaweruh jeung téknologi. Wewengkon Dukuh anu legana 10 ha diwangun ku 7 ha Désa Dukuh Luar, 1 ha Désa Dukuh Dalam sarta sésana mangrupa lahan kosong atawa lahan produksi, aya ogé wewengkon anu katelah wewengkon "Karomah". salaku lokasi makam "Syekh Abdul Jalil". Di Désa Dukuh Dalam ngan aya 42 imah jeung wangunan masjid, dicicingan ku 40 kulawarga (KK) atawa 172 urang, sedengkeun Désa Dukuh Luar dicicingan ku 70 kulawarga, mata pencaharian utama nyaéta tani, ternak hayam, bebek. , embé, domba, kebo jeung usaha penggilingan lauk jeung béas. Pola aspék non-fisik kabudayaan dina wangun ritual kabudayaan antara séjén “ngahaturan tuang” (nyuguhkeun kadaharan), mangrupa tatakrama masarakat ka nu datang ti luar. Upama boga kahayang nu tangtu saperti lancar usaha, kawin, jodo, mere uyah, kalapa, endog hayam, embe atawa nu sejenna nurutkeun kamampuhna. Saterusna “nyanggakeun” (nyerahkeun), kagiatan masrahkeun sawatara hasil tatanén ka “Kuncen” (pangurus) pikeun diberkahan, sarta masarakat teu meunang ngadahar hasil panenna saméméh ngalaksanakeun kagiatan Nyanggakeun.Salajengna nyaeta "tilu waktos" (tilu kali), salaku ritual anu dilakukeun ku Kuncen ku cara mawa dahareun kana "bumi alit atawa bumi lebet" (imah leutik atawa imah jero) pikeun "tawasul", Kuncen mawa sababaraha kadaharan ka Bumi Allit lajeng. Sholat anu biasana dilaksanakeun dina 1 Syawal, 10 Rayagung, 12 Maulud, 10 Muharam. “Manuja”, nyaéta masrahkeun bahan kadaharan ti bumi ka Kuncen pikeun diberkahan dina Idul Fitri jeung Idul Adha minangka wujud hajatan. “Moros”, mangrupa adat istiadat masrahkeun hasil bumi anu dipiboga ka aparat pamaréntahan saperti lurah jeung camat. Cebor Opat Puluh, nya éta mandi kalayan opat puluh pancuran cai tina pancuran anu dicampur cai husus tapi geus dibéré solat di jamban umum. Jaroh, nyaeta wujud ziarah ka makam Syekh Abdul Jalil, tapi samemeh eta, kudu mandi jeung nyokot cai wudhu jeung nyabut sagala perhiasan jeung make baju anu teu motif. Shawalatan, dilaksanakeun dina dinten Jumaah di imah kuncen, diwangun ku 4.444 kali Karmilah Shalawatan anu diitung ngagunakeun batu. Sabelas dilaksanakeun unggal tanggal 11 dina itungan bulan Islam ku maca Marekah, Terbang Gembrung mangrupa kagiatan anu dilaksanakeun dina tanggal 12 Maulud anu dilaksanakeun ku kolot Kampung Dukuh.Ngalayang Awit, nyaéta pintonan dina mangsa hajatan saperti khitanan jeung kawinan, nyaéta minangka pintonan debus. Jadi aya poé-poé penting jeung poé-poé di Désa Dukuh, antara séjén 10 Muharam, 12 Maulud, 27 Rajab, 1 Syawal jeung unggal 10 Rayagung, anu penting poé Saptu (Palaksanaan Ibadah Haji), Rebo Welasan (Poé Panungtungan Sapar). bulan)). Sadaya sumber cai anu dianggo ku masarakat dipasihan "jimat" (potensial) salaku panolak bala, sareng biasana diwajibkeun pikeun mandi, bahkan dina 14 Maulud dipercaya janten dinten anu pangsaéna pikeun nguji sareng milarian élmu ti guru. ku ngalaksanakeun cebor opaty oge aya tradisi 30 Bewah minangka persiapan samemeh ngalaksanakeun ibadah puasa Ramadhan, saur Yayan. Salian ti éta, aya ogé kabudayaan anu geus teu berlaku deui di masarakat Kampung Adat Dukuh, nyaéta: Baheula, tatakrama basa asup ka Kampung Adat Dukuh teu meunang maké sendal jeung lamun hujan teu meunang maké payung. tapi pikeun ayeuna ieu teu valid deui. Kuring henteu terang naon sababna tapi ieu teu tiasa dipisahkeun tina jaman. C. Sistem Organisasi Sosial Masyarakat Kampung Adat Dukuh Masarakat Kampung Adat Dukuh miboga sistem sosial anu tertata rapih anu geus lumangsung ratusan taun.Hal ieu dibuktikeun ku jalanna sistem organisasi sosial anu aya di masarakat Kampung Adat Dukuh teu kungsi robah ti jaman ka jaman sarta masih kénéh jalan nepi ka kiwari jeung ka hareupna. Sistem organisasi sosial anu digunakeun ku maranéhna nganut sistem kokolotan anu dumasar kana ajaran Islam salian ti pola budaya anu dumasar kana agama anu pohara kuat, ogé nganggap kahirupan anu dumasar kana tasawuf kalawan ngarujuk kana Mazhab Imam Syafii. Sistem kokolotan anu dimaksud nyaéta sistem organisasi sosial anu ngajénan jeung ngajénan kasepuhan atawa kokolot jeung karuhun atawa karuhunna méré amanat atawa amanat ka anak-incuna di Kampung Adat Dukuh pikeun terus ngalaksanakeun ajaran-ajaran anu geus turun-tumurun. aranjeunna. Pikeun ngajalankeun roda organisasi sosial, aranjeunna dipandu ku ajaran Islam sareng mazhab Imam Syafi'i. Sangkan landasan kabudayaan mangaruhan kana formasi fisik padésaan jeung adat istiadat masarakatna, anu kacida ngajénan kana karukunan jeung karukunan kahirupan sosial. Jalma-jalmana homogen sareng hirup terasing tina balaréa kota sareng désa sanés. Nurutkeun tradisi hirup nepi ka ayeuna, masarakat adat Kampung Dukuh nganut kasauran karuhun (naséhat karuhun). Naséhat ieu ngajak hirup basajan, sopan santun, teu kaleuleuwihi jeung teu ngudag kasenangan dunya, sarta tetep nyekel prinsip kebersamaan.Salian ti éta, aya ogé adat-istiadat tabu (larangan) anu masih kénéh dilaksanakeun sangkan pola-pola désa jeung kabiasaan sapopoé tetep dijaga. Saterusna kalungguhan kuncen salaku pamingpin non-formal dianggap sabagé pelindung adat-istiadat anu wewenangna kacida gedé pangaruhna. D. Sistem perkawinan Sistem perkawinan masarakat Kampung Adat Dukuh nganut sistem perkawinan bébas luyu jeung ajaran Islam. Aturan anu aya di kampung dukuh ngamungkinkeun masarakat pikeun nikah ka saha waé anu dipikanyaahna salami henteu bertentangan sareng ajaran Islam. Warga di dukuh bisa ngawinkeun jalma di luar dukuh jeung sabalikna. E. Sistem Warisan Salian ti sistem perkawinan, sistem pembagian warisan ogé disaluyukeun jeung ajaran Islam. Dimana lalaki disebut "nanggung" sedengkeun awéwé disebut "ngais" hartina bagian warisan pikeun lalaki dua kali lipat ti awéwé. Intina, pembagian pusaka di masarakat Kampung Dukuh nyumponan dua hukum dina pembagian pusaka. 1. Hukum Adil Hartina, kolot ngabagi warisan sacara adil nurutkeun fitrahna sakumaha anu kaunggel dina Al Qur’an, nyaéta budak lalaki meunang dua kali lipat warisan ti budak awéwé jeung budak awéwé meunang satengah tina warisan ti budak lalaki (2:1). 2. Hukum Biridho Ieu ngandung harti yén kolotna ngabagi warisan maranéhanana sarua pikeun barudak maranéhanana henteu paduli gender ambéh budak lalaki jeung katresna meunang babagi sarua.Di dieu putrana kudu ikhlas (ridho) sangkan babagian warisan disaruakeun jeung adina. F. Pantang Larapkeun di Masarakat Désa Dukuh Luyu jeung pola pikir masarakat Indonésia, salah sahijina nyaéta Relegio Magic anu di jerona aya pantangan. Kitu deui dina masarakat Kampung Adat Dukuh anu loba tabu anu teu kudu dilanggar, di antarana: Teu dahar ku leungeun katuhu jeung kénca kawas jalma beunghar jaman kiwari; teu bisa dahar bari nangtung sumawona leumpang; Jempe atawa diuk di panto; Suku teu kudu manjang ka kaler sabab aya makam karamat "Syeh Abdul Jalil" nu ngadegkeun Kampung Adat Dukuh; Kiih jeung peujit kudu nyanghareup ka kulon; Imah teu kudu nyanghareup kalér; Ogé teu diidinan boga infrastruktur listrik jeung pamasangan televisi jeung radio, nu maranéhanana yakin, salian ti mawa loba mangpaat, ogé bisa mawa loba ngarugikeun; Nalika nganjang ka makam Syekh Abdul Jalil, kedah ngagem ageman khusus anu parantos disayogikeun dina bentuk "gamis" anu warnana bodas polos; PNS teu meunang nganjang ka makam Syekh Abdul Jalil; Wali anu maot teu kudu ngomong "maot" tapi "ganti tempat";
Semua terjemahan yang dibuat di dalam TerjemahanSunda.com disimpan ke dalam database. Data-data yang telah direkam di dalam database akan diposting di situs web secara terbuka dan anonim. Oleh sebab itu, kami mengingatkan Anda untuk tidak memasukkan informasi dan data pribadi ke dalam system translasi terjemahansunda.com. anda dapat menemukan Konten yang berupa bahasa gaul, kata-kata tidak senonoh, hal-hal berbau seks, dan hal serupa lainnya di dalam system translasi yang disebabkan oleh riwayat translasi dari pengguna lainnya. Dikarenakan hasil terjemahan yang dibuat oleh system translasi terjemahansunda.com bisa jadi tidak sesuai pada beberapa orang dari segala usia dan pandangan Kami menyarankan agar Anda tidak menggunakan situs web kami dalam situasi yang tidak nyaman. Jika pada saat anda melakukan penerjemahan Anda menemukan isi terjemahan Anda termasuk kedalam hak cipta, atau bersifat penghinaan, maupun sesuatu yang bersifat serupa, Anda dapat menghubungi kami di →"Kontak"
Vendor pihak ketiga, termasuk Google, menggunakan cookie untuk menayangkan iklan berdasarkan kunjungan sebelumnya yang dilakukan pengguna ke situs web Anda atau situs web lain. Penggunaan cookie iklan oleh Google memungkinkan Google dan mitranya untuk menayangkan iklan kepada pengguna Anda berdasarkan kunjungan mereka ke situs Anda dan/atau situs lain di Internet. Pengguna dapat menyisih dari iklan hasil personalisasi dengan mengunjungi Setelan Iklan. (Atau, Anda dapat mengarahkan pengguna untuk menyisih dari penggunaan cookie vendor pihak ketiga untuk iklan hasil personalisasi dengan mengunjungi www.aboutads.info.)