Kaget Oleh Wisnu Suryaning Adji Pagi ini, aku berulang tahun ke-101, dan orang-orang menunggu sejak semalam. Kurasa, dalam benak mereka, ulang tahun bukanlah perayaan kehidupan, melainkan permainan tebak-tebakan-apakah aku terbangun untuk berulang tahun sekali lagi; atau sebaliknya, mati dalam keadaan tertidur. menyaksikan adegan pesta kejutan yang gagal. Aku baru membuka pintu kamar saat kudengar orang-orang itu menyanyi lagu selamat ulang tahun dalam nada sumbang dan kurang bersemangat. Aku bertahan. Aku terbangun untuk "Selamaaat Ulang Tahuuun!" Sebentuk kue tar merah jambu dengan tiga batang lilin merah-putih tersodor di depan mukaku. Kubaca: 101. "Tiiiup lilinnyaaa! Tiiiiup lilinnyaaa!" Aku tidak punya pilihan. Kumonyongkan bibir dengan harapan orang- orang ini menghilang setelahnya. Tiba-tiba, sepi. Mereka menatapku seperti menduga-duga apakah paru-paruku cukup kuat untuk melakukannya. Tiga lilin itu mati. Aku hidup. Mereka bertepuk tangan. Meniup lilin sampai mati tanpa jadi mati adalah prestasi untuk manusia setua ini. Seperti bayi, satu tahun adalah bukti kemampuan bertahan hidup. Sekarang, usiaku resmi 101. sempat Belum mata rabunku menangkap raut wajah mereka, lampu sorot menyala. Memegang mikrofon besar dengan lambang sebuah stasiun penyiaran televisi, seorang laki-laki muda mendekat. Di sisinya, kamera seukuran ember yang biasa kugunakan mandi menutup sebelah wajah seorang laki-laki gendut. "Tidakkah aku perlu membersihkan diri dulu?" tanyaku. "Mandi?" "Tidak. Tidak. Tidak perlu," ia menjawab dengan antusiasme yang bisa meledakkan atap panti jompo. "Ini sudah bagus. Alami!" "Alami?" "Alami untuk orang tua berumur 100 tahun." "101," aku meralat. "Iya. Alami untuk orang tua berumur 101 tahun!" "Tampil di layar televisi nasional dalam keadaan belum mandi adalah alami untuk orang berumur 101 tahun?" Aku heran. "Di mana kau mempelajari penyiaran?" itu? Sekolah la terbahak, dan kupahami betapa buruk selera humornya. Ketika seminggu lalu aku menyetujui mereka meliput hari ulang tahunku, bukan ini yang kubayangkan. Kupikir, dia akan mengajakku mengobrol dalam sebuah wawancara elegan-bukan pesta ulang tahun ala bocah 5 tahun. Apakah mereka lupa, aku sudah berulang tahun sejumlah 3 atau 4 kali usia mereka? Ulang tahun bukan sesuatu yang perlu dirayakan lagi. Toh, aku tahu mengapa semua ini masih perlu dilakukan. Beberapa waktu lalu, pengelola panti jompo menyampaikan kepadaku. "Ini untuk publisitas. Kita perlu sumbangan." Aku menyetujuinya karena, sejak dulu, publisitas adalah sejenis mata uang. Liputan televisi nasional adalah upayabagus untuk mengais belas kasihan. Paling tidak, bisa membuat tempat ini bertahan sedikit lebih lama. "Kalau tidak, tempat ini akan dibubarkan," lanjut pengelola panti. "Kita sudah mengulur waktu pembayaran sewa bangunan. Kalau kita tidak membayarnya, kita semua akan diusir. Apakah Kakek mau membantu?" Tentu saja, aku mau. Seperti penghuninya, panti jompo ini terengah-engah untuk sekadar menjalani hari-hari biasa. Uang setoran dari keluarga tidak pernah cukup untuk membuat tempat ini mampu mempertahankan diri. Kami selalu perlu sumbangan. Entah mengapa tempat ini masih ada, dan lebih mengherankan lagi, mengapa kami masih hidup sementara anak- anak kami berharap kami mati karena apa lagi yang bisa dilakukan oleh orang-orang tua yang sangat sangat tua selain menyusahkan anak-anak mereka? Anak-anak bekerja keras untuk membiayai hidup kami yang terus berlanjut. Sementara, kami taklebih orang- orang tua yang anak-anaknya terlalu miskin untuk membiarkan kami tetap berada di bawah atap rumah mereka, tapi tidak punya cukup uang untuk menyewa panti jompo yang lebih layak. Kejadian mengherankan memang terjadi. Pengelola panti jompo ini adalah orang yang mengherankan. Ia tidak punya alasan kuat untuk tetap mempertahankan tempat ini-tidak ada untungnya. Ia menyusahkan diri sendiri, tapi berkeras melakukannya. Jadi, kuputuskan untuk membuat sisa umurku sedikit bermanfaat, dan begitulah awal dari kehadiran orang-orang stasiun televisi yang melakukan liputan janggal tentang orang tua berumur 101 tahun yang tidak mati-mati. Entah bagaimana mereka menemukan, dan menebak umurku yang bahkan lebih tua dari tempat ini. "Kita ulang!" teriak pembawa acara itu. "Kru, siap-siap tiup lilin." Aku heran lagi. "Bukankah kita baru meniup lilin?" "Tadi hanya latihan. Kita perlu mengulangnya." "Mengulang tiup lilin?" "Mengulang dari awal, dari adegan Kakek keluar kamar," lanjutnya. "Jangan lupa untuk memasang ekspresi terkejut. Tapi, bahagia. Seperti ... seperti mendapat ucapan selamat dari anak-cucu." Anak-cucuku membuang aku kemari. Mereka pasti sudah cukup terkejut dengan kenyataan bahwa aku belum mati sembari ada anakku yang sudah mati lebih dulu. Itu artinya mereka harus membayar sejumlah uang lagi. Tidak besar, tapi sudah cukup untuk mengurangi kebahagiaan. Kuturuti saja keinginan pembawa acara itu karena ini bukan tentang anak-cucu, atau ulang tahun. Ini publisitas. Dalam kamar, kuembuskan napas di muka cermin buram sebelum melatih ekspresi kaget yang cukup pantas. Aku heran bagaimana kejadian macam ini menimpa seorang tua renta berumur 101 tahun di hari ulang tahunnya. Seharusnya, aku sudah terbaring damai di dasar kuburan, dan kenyataan menunjukkan perihal sebaliknya. Aku masih perlu meniup lilin menggunakan paru-paru yang kisut dimakan waktu. "Siap?" terdengar pembawa acara itu berteriak dari luar kamar. "Take one! Action!" Aku tertatih ke luar kamar, masih perlahan-sebagaimana memperkenanku berjalan. usia "Selamaaat ulang tahuuun, kamiii-" "Cut!" Hah? Orang-orang berhenti bernyanyi. "Mana ekspresi kagetnya, Kek?" Aku belum sempat menjawab. "Kita ulang!" Aku menurut, dan tertatih kembali ke dalam kamar sambil mengingat istriku. la tidak akan bersedia melakukan perayaan ulang tahun gadungan macam ini. Kulatih lagi ekspresi kagetku di cermin. Terdengar teriakan dari luar, "Take two! Action!" Aku tertatih ke luar kamar. "Selamaaat ulang tahuuun, kamiii-" "Cut!" Apa lagi? "Ekspresi kagetnya, Kek! Ekspresi kagetnya!" Aku tidak tahu ekspresi kaget yang lain. Terakhir kali aku kaget adalah ketika kutemukan istriku terbujur kaku tanpa napas di sampingku. Pagi itu, aku berulang tahun ke -75. Kematian istriku adalah hadiah terburuk yang pernah aku terima. "Ulang!" Aku tertatih sambil berpikir bahwa tiada perkara yang bisa lebih mengejutkan dari kematian. "Take three! Action!" Dan, tertatih keluar lagi. "Selamaaat ulang tahuuun-" Aku harus kaget "Cut!" pembawa acara itu berteriak bahkan sebelum aku sempat memasang ekspresi kaget. la tampak kecewa, lalu mendekatiku. "Begini, Kek. Saat ini, Kakek adalah orang tertua yang masih hidup di kota ini. Kami akan menyiarkan perayaan ulang tahun ini ke seluruh negeri. Kami perlu ekspresi kaget bercampur bahagia yang jujur." Jujur? Aku takmenyangka ia cukup punya harga diri untuk memintaku jujur dalam adegan palsu ini. "Kami ingin penonton mendapat inspirasi untuk berbahagia di usia tua." Inspirasi? Aku heran pada keyakinan orang ini. "Kita ulang sekali lagi. Kalau Kalau tidak berhasil, kami akan merekam ekspresi kagetnya saja. Nanti, kami edit agar pas dengan adegan." "Maafkan saya," bisikku. "Saya tidak ahli untuk kaget." Aku tidak pernah memikirkan keberhasilan apalagi kegagalan ekspresi kaget hingga perlu terus diulang-ulang. Tiada lagi peristiwa yang bisa lebih mengagetkan dari kematian istriku pagi itu. Aku tidak mau mengulangnya. "Istriku," aku berbisik. Aku tahu, ia menyiapkan sarapan sederhana untukku-sepotong kue tar kecil dengan satu lilin kurus. Untuk sarapan sederhana itu, kami harus menyisihkan uang. "Kau belum pernah merayakan ulang tahun dengan kue tar dan lilin, bukan?" tanya istriku satu hari sebelumnya. Tidak ada pesta. Aku sudah terlalu tua untuk kejutan apa pun, dan istriku tidak merencanakan kejutan. "Kau tidak perlu melakukannya," jawabku sambil membelai tangannya yang terbungkus kulit kusut. "Ucapan selamat ulang tahun darimu sudah cukup." "Sekali seumur hidup hidup tidak ada salahnya." Membalas belaian pada kulit tanganku yang lebih kusut lagi, ia tersenyum. "Kapan lagi kita hidup kalau tidak sekarang? la tertawa. Aku menertawakan kekejaman usia. Malam itu, kami berbicara apa saja. Tentang hidup. Tentang kebahagiaan. Tentang masa lalu. Tentang kehilangan. Tentang kali pertama kami bertemu. Tentang masa depan, dan jalan- jalan yang kelak menuntun ke arah perpisahan. Tentang pertemuan ulang. Tentang umur yang memanjang, dan nasib yang memendek. Sampai, kami lelah, dan ketiduran. Aku bermimpi indah. Aku kembali ke masa lalu dengan perasaan merdeka. Dan, tibalah pagi yang terasa bagai pagi pertama dalam pernikahan kami. Kubuka kelopak mataku perlahan-lahan. Aku ingin sarapan kue tar dengan hiasan sebatang lilin menyala-sekali seumur hidup tidak ada salahnya. "Istriku." Pagi hangat dengan hati yang dingin. Tubuhnya kaku, dan bibirmya taksempat mengucap selamat ulang tahun. la memberiku kejutan walau tidak berencana melakukannya. Aku takpernah terkejut lagi setelahnya. Beberapa bulan setelah itu, aku tiba di panti jompo yang membutuhkan publisitas, dan bertemu pembawa acara yang gemar mengulang-ulang adegan. "Take four! Action!" Aku tertatih ke luar dari kamar tidurku. Semua jadi gerak lambat. "Selamaaat ulang tahuuun, kamili ucapkaaan!" Mereka menyannyi lebih bersemangat walau tetap sumbang. Kue tar dengan lilin menyala tampak di kejauhan. Suara nyanyi perlahan tidak terdengar. Aku cuma melihat gerak-gerik bibir mereka. Kupasang ekspresi kaget sekaget-kagetnya. Semua orang terdiam. Aku juga diam. "Cut!" Apakah aku berhasil? Kau berhasil, terdengar suara lembut di telingaku. Aku berhasil. Aku tersenyum. Istriku muncul dari balik pintu, dan menyanyi dengan suaranya yang lembut. "Selamaaat ulang tahun...." Kupejamkan mata. Kutiup sebatang lilin kurus di atas kue tar kecil di tangannya sambil berharap agar semua orang ini segera menghilang. Lalu, aku berbisik kepada istriku, "Mengapa baru datang?" "Kau yang baru datang," bisiknya. "Aku sudah menunggumu. Lama sekali." Harapanku menghilang. terkabul, mereka Jakarta, 20/10/10
Reuwas Ku Wisnu Suryaning Adji Isuk ieu, kuring tos 101, sareng jalma-jalma parantos ngantosan ti tadi wengi. Kuring nebak, dina pikiran maranéhanana, ultah éta teu jadi loba hajatan hirup salaku kaulinan nebak-naha kuring bangun boga hiji deui ultah; atawa sabalikna, maot dina kaayaan saré. saksian adegan pihak reuwas botched. Kuring nembé muka panto kamar tidur nalika kuring ngupingkeun lalaki-lalaki nyanyian wilujeng tepang taun dina nada anu teu kakendali sareng teu kuat. Kuring geus salamet. Kuring hudang "Wilujeung tepang taun!" A tart pink jeung tilu lilin beureum jeung bodas keur dorong di hareup beungeut kuring. Kuring maca: 101. "Getih lilineeee! Tiup lilineeee!" Abdi henteu boga pilihan. Kuring pursed biwir kuring dina harepan yén jalma ieu bakal leungit afterwards. Ngadadak jempling. Aranjeunna melong kuring saolah-olah heran naha paru-paru kuring cukup kuat pikeun ngalakukeunana. Tilu lilin pareum. kuring hirup. Aranjeunna keprok. Niup lilin tanpa maot mangrupikeun prestasi pikeun manusa sepuh ieu. Sapertos orok, sataun mangrupikeun bukti kamampuan salamet. Ayeuna, kuring resmi 101 taun Saméméh panon rabun kuring neuteup katingal dina beungeut maranéhanana, sorotan hurung. Nyepeng mikropon badag kalayan lambang stasiun siaran televisi, saurang nonoman ngadeukeutan.Di sisina, kaméra ukuran ember anu kuring biasa mandi nutupan beungeut hiji lalaki gendut. "Teu kudu beberesih heula?" Abdi naroskeun. "Mandi?" "Henteu. Henteu. Henteu kedah," jawabna kalayan sumanget anu tiasa ngabeledugkeun hateup panti jompo. "Ieu tos saé. Pangalaman!" "Pangalaman?" "Alami pikeun lalaki heubeul 100 taun." "101," kuring ngabenerkeun. "Enya. Wajar keur lalaki umur 101 taun!" "Muncul dina layar televisi nasional unwashed geus lumrah pikeun 101 taun heubeul?" Kuring reuwas. "Di mana anjeun diajar siaran?" Anu? Sakola Anjeunna seuri, sarta kuring ngarti kumaha goréng rasa humor na. Nalika saminggu kapengker kuring sapuk pikeun aranjeunna nutupan ulang taun kuring, ieu sanés anu kuring bayangkeun. Jigana anjeunna bakal nyerang kuring pikeun wawancara anu elegan-sanés pésta ulang taun 5 taun. Naha maranéhna poho, Kuring boga ulang nu 3 atawa 4 kali umur maranéhanana? Ulang taun teu hal pikeun ngagungkeun deui. Barina ogé, kuring terang naha sadayana ieu masih kedah dilakukeun. Sababaraha waktos kapengker, pangurus panti jompo nyarios ka kuring. "Éta kanggo publisitas. Urang peryogi sumbangan." Kuring sapuk sabab, lila pisan, publisitas éta jenis mata uang. Sinyal televisi nasional mangrupikeun usaha anu hadé pikeun nyungkeun karep. Sahenteuna, éta tiasa ngajantenkeun tempat ieu langkung lami.“Lain, ieu tempat bakal dibubarkeun,” sambung gerentes panti asuhan. "Simkuring tos telat mayar sewa gedung. Upami teu mayar, urang sadayana bakal digusur. Dupi anjeun kersa ngabantosan Embah?" Tangtu, kuring bakal. Sapertos wargana, panti jompo ieu sesak pikeun ngan ukur dinten-dinten biasa. Deposit ti kulawarga henteu cekap pikeun ngajaga tempat ieu ngambang. Urang salawasna butuh sumbangan. Kuring henteu weruh naha tempat ieu masih aya, komo deui astonishingly, naha urang masih hirup lamun barudak urang hayang urang maot sabab naon deui bisa kolot pisan heubeul salian menyakiti barudak maranéhanana? Barudak kerja keras pikeun ngadukung kahirupan urang. Samentara éta, kami henteu langkung ti kolot anu murangkalihna miskin teuing pikeun ngantepkeun kami tetep dina hateupna, tapi teu gaduh artos cekap pikeun nyéwa panti jompo anu langkung saé. Kajadian pikaheraneun lumangsung. Pangurus panti jompo ieu mangrupikeun jalma anu pikaheraneun. Anjeunna teu boga alesan alus tetep di tempat ieu-euweuh gain. Anjeunna troubled dirina, tapi keukeuh ngalakukeun eta. Janten kuring mutuskeun pikeun ngagunakeun sésa-sésa taun-taun kuring, sareng éta kumaha jalma-jalma stasiun televisi ngamimitian ngalakukeun liputan ganjil kolot 101 taun anu henteu maot.Kumaha bae aranjeunna kapanggih, sarta ditebak umur abdi malah heubeul ti tempat ieu. "Urang balik!" ngagorowok tuan rumah. "Awak, siap-siap niup lilin." Kuring heran deui. "Naha urang ngan niup lilin?" "Latihan waé. Kami peryogi malikan deui." "Malikan niup lilin?" “Ngulang ti mimiti, ti adegan Embah kaluar ti kamar,” sambungna. "Ulah hilap témbong reuwas. Tapi, bagja. Jiga... kawas dibagéakeun ku anak incu." Anak incu kuring dialungkeun ka dieu. Éta pasti rada reuwas ku kanyataan yén kuring henteu acan maot bari putra kuring parantos maot. Éta hartosna aranjeunna kedah mayar langkung seueur artos. Teu badag, tapi cukup pikeun ngurangan kabagjaan. Kuring ngan nurut ka nu boga imah sabab ieu téh lain ngeunaan anak jeung incu, atawa ultah. Éta publisitas. Di kamar kuring, kuring gempur di hareupeun eunteung frosted saméméh practicing ekspresi ditangtoskeun tina shock. Kuring heran kumaha hal kawas ieu kajadian ka lalaki heubeul 101 taun dina ulang na. Abdi kedah ngagolér kalayan damai di handapeun kuburan, sareng kanyataanana nunjukkeun sanés. Kuring masih kudu niup kaluar lilin ngagunakeun bayah shriveled kuring jeung waktu. "Siap?" nu boga imah ngagorowok ti luar kamar. "Candak hiji!Aksi!" Kuring limped ka luar kamar, kénéh lalaunan-siga ngijinan kuring leumpang. umur "Wilujeng tepang taun, urang-" "Potong!" Hah? Jalma-jalma eureun nyanyi. "Dimana ekspresi reuwasna, Embah?" Kuring teu kungsi waktu ngajawab. "Urang balik!" Kuring nurut, ngaléos deui ka kamar inget ka pamajikan. Anjeunna moal bakal nahan hajatan ulang taun palsu ieu. Kuring rehearsed ekspresi reuwas kuring dina eunteung. Aya nu ngagorowok ti luar, "Candak dua! Aksi!" Kuring lumpat kaluar ti kamar. "Wilujeng tepang taun, urang-" "Potong!" Utamana? "Ekspresi reuwas, jajan! Ekspresi reuwas!" Abdi henteu terang ekspresi kaget sanés. Panungtungan kuring kaget nalika kuring mendakan pamajikan kuring ngagolér di gigireun kuring. Isuk éta, abdi ulang 75th. Pupusna pamajikan kuring mangrupikeun kado anu paling goréng anu kuring kantos nampi. "Malikan deui!" Kuring staggered mikir yén euweuh bisa leuwih ngareureuwas ti maot. "Candak tilu! Aksi!" Jeung, limped kaluar deui. "Wilujeng ulang taun-" kuring kudu reuwas "Potong!" host screamed saméméh kuring malah kungsi kasempetan pikeun nempatkeun dina ekspresi ngajempolan. Katingalina kuciwa, tuluy nyampeurkeun ka kuring. "Néng, Embah, ayeuna, Embah mangrupikeun jalma pangkolotna di kota ieu.Urang bakal nyiarkeun perayaan ulang taun ieu ka sakuliah nagara. Urang peryogi ekspresi kaget anu jujur dicampur sareng kabagjaan.” Jujur? bagja dina sepuh." Ilham? Abdi ngaraos kagum kana kayakinan lalaki ieu. "Hayu sakali deui. Upami éta henteu hasil, urang ngan ukur ngarékam ekspresi kagetna. Engké, urang édit pikeun pas jeung adegan". "Hapunten," kuring ngaharéwos. "Kuring teu ahli dina keur reuwas." Teu sangka kasuksesan sumawona ekspresi kagagalan anu kedah diulang-ulang deui. Henteu aya anu langkung ngahérankeun tibatan maotna pamajikan isuk-isuk. Abdi henteu hoyong ngulang deui. “Pamajikan,” témbal kuring. Kuring nyaho, manéhna nyiapkeun sarapan basajan pikeun kuring-sapotong leutik tart jeung hiji lilin ceking. Pikeun sarapan anu sederhana, urang kedah nyisihkeun artos. "Anjeun henteu kantos ngagungkeun ulang taun kalayan jajan sareng lilin, naha?" tanya pamajikan kuring harita. Taya pésta. Abdi sepuh teuing pikeun kejutan naon, sareng pamajikan kuring henteu ngarencanakeun kejutan. "Teu kedah," walon kuring, ngusapan leungeunna nu dibungkus ku kulit keriput. "Wilujeng ulang taun ti anjeun cukup." "Sakali dina hirupna hirup teu pernah menyakiti." Malik ngusapan kulit kuring nu beuki keriput, manéhna imut."Di mana deui urang bakal hirup lamun teu ayeuna? Anjeunna seuri. Kuring seuri dina cruelty umur. Peuting éta, urang ngobrol ngeunaan sagalana. Ngeunaan kahirupan. Ngeunaan kabagjaan. Ngeunaan kaliwat. Ngeunaan leungitna. Ngeunaan kahiji kalina urang papanggih. Ngeunaan mangsa nu bakal datang, jeung jalan - jalan nu bakal nuju kana perpisahan Ngeunaan reuni Ngeunaan panjang umur jeung pondok takdir Nepi ka urang capé sarta saré Kuring ngimpi éndah Kuring balik deui ka mangsa katukang kalayan rasa. "Kabebasan. Jeung, datang isuk-isuk nu karasaeun kawas isuk mimiti nikah urang. Kuring muka kongkolak panon kuring lalaunan. Abdi hoyong sarapan tarts kalawan lilin cahayana-sakali dina hirupna moal menyakiti. "Pamajikan abdi." Isuk-isuk haneut jeung tiis haté. Awakna kaku, biwirna teu kungsi ngucapkeun wilujeng tepang taun. Anjeunna masihan kuring kejutan sanajan anjeunna henteu ngarencanakeun. Kuring teu kungsi reuwas deui sanggeus éta. Sababaraha bulan saatos éta, kuring dugi ka panti jompo anu peryogi publisitas, sareng tepang sareng pembawa acara anu resep maén deui. "Candak opat! Aksi!" Kuring limped kaluar ti pangkeng kuring. Sagalana dina gerak slow. "Wilujeng tepang taun, urang pamit!" Aranjeunna nyanyi langkung antusias sanajan aranjeunna discordant. A tart jeung lilin ngaduruk bisa ditempo di kajauhan. Sora lalaunan nembang teu kadéngé. Karék nempo gerak biwir maranéhna. Kuring nempatkeun ekspresi reuwas.Saréréa jempé. Abdi oge sepi. "Potong!" Naha kuring suksés? Anjeun ngalakukeun eta, sumping sora halimun dina ceuli kuring. Abdi henteu ngalakukeun éta. kuring seuri. Pamajikan kuring némbongan ti tukangeun panto, bari ngahuleng dina sora halimpu. "Wilujeung tepang taun..." Kuring nutup panon. Kuring niup lilin langsing dina tart saeutik dina leungeun nya jeung miharep yén sakabéh jalma ieu bakal ngaleungit. Terus, kuring ngaharéwos ka pamajikan, "Naha karék datang?" "Anjeun énggal," témbalna. "ABDI geus nungguan anjeun. Tos lami.” Kahayang mah ilang. aranjeunna Jakarta, 20/10/10
Semua terjemahan yang dibuat di dalam TerjemahanSunda.com disimpan ke dalam database. Data-data yang telah direkam di dalam database akan diposting di situs web secara terbuka dan anonim. Oleh sebab itu, kami mengingatkan Anda untuk tidak memasukkan informasi dan data pribadi ke dalam system translasi terjemahansunda.com. anda dapat menemukan Konten yang berupa bahasa gaul, kata-kata tidak senonoh, hal-hal berbau seks, dan hal serupa lainnya di dalam system translasi yang disebabkan oleh riwayat translasi dari pengguna lainnya. Dikarenakan hasil terjemahan yang dibuat oleh system translasi terjemahansunda.com bisa jadi tidak sesuai pada beberapa orang dari segala usia dan pandangan Kami menyarankan agar Anda tidak menggunakan situs web kami dalam situasi yang tidak nyaman. Jika pada saat anda melakukan penerjemahan Anda menemukan isi terjemahan Anda termasuk kedalam hak cipta, atau bersifat penghinaan, maupun sesuatu yang bersifat serupa, Anda dapat menghubungi kami di →"Kontak"
Vendor pihak ketiga, termasuk Google, menggunakan cookie untuk menayangkan iklan berdasarkan kunjungan sebelumnya yang dilakukan pengguna ke situs web Anda atau situs web lain. Penggunaan cookie iklan oleh Google memungkinkan Google dan mitranya untuk menayangkan iklan kepada pengguna Anda berdasarkan kunjungan mereka ke situs Anda dan/atau situs lain di Internet. Pengguna dapat menyisih dari iklan hasil personalisasi dengan mengunjungi Setelan Iklan. (Atau, Anda dapat mengarahkan pengguna untuk menyisih dari penggunaan cookie vendor pihak ketiga untuk iklan hasil personalisasi dengan mengunjungi www.aboutads.info.)