Indonesia

Wiratha Parwa Lakon Wiratha Parwa ini mengisahkan ketika Pandawa menghadapi masa penyamaran satu tahun setelah sebelumnya harus mengasingkan diri ke tengah hutan selama 12 tahun. Ini akibat Puntadewa yang sangat suka bermain dadu kalah dengan Duryudana dalam adu dadu. Saat itu menjelang sepuluh hari berakhirnya masa penyamaran. Pandawa menyamarkan diri di Negari Wiratha. Puntadewa, Kakak tertua Pandawa menyamar menjadi Lurah Pasar dengan nama Wija Kangko, Wrekudara menyamar menjadi petugas penjagal hewan ternak dengan nama Jagal Abilowo. Janaka menjadi waria yang mengajar karawitan dan tari di Keputrian Kerajaan Wiratha. Nakula menjadi penggembala dan pengurus Kuda, namanya Kinten. Sadewa jadi penggembala hewan ternak unggas menggunakan nama Pangsen. Layar tengah sebagai kelir utama mementaskan sidang Kerajaan Astina Pura dipimpin Duryudono yang sedang marah – marah karena misi memusnahkan Pandawa tidak pernah berhasil. “PamanSangkuni…!” “DalemAnggerPrabu” “Paman itu sudah tua, tapi tetap saja bodho…Nggak becus, buat paman sudah saya sediakan semua fasilitas yang paman minta, uang saku, komisi, bonus meskipun belum kerja. Apa lagi yang kurang???. Tunjangan tiap proyek juga tidak pernah telat ! Tapi mengapa proyeknya tidak pernah close ?!!! Selalu over time, over budget, bahkan never ending story !!. Proyek pertama, katanya akan meracuni Pandawa, bukan teler yang didapat Pandawa tetapi mereka malah kuat! Proyek ke dua, Pandawa dan Drupadi dibakar hidup – hidup dalam edisi Balai Sigolo – golo. Fail!!!! Bukan pandawa yang mati terbakar hidup – hidup, malah lima kere yang nggak berguna tewas. Tapi dengan bangganya sampeyan laporan proyek berhasil dengan sukses dan seksama. Karena sesuai estimasi dan selesai lebih cepat dari rencana, sampeyan minta tambahan bonus. Saya Kasih…..Tapi, apa kenyataannya… Pandawa masih hidup dan sehat wal afiat. Paman minta satu kesempatan lagi untuk mengajukan proyek berikutnya, sebenarnya saya males. Tapi karena tidak ada yang lebih dari sampeyan, paling tidak lebih licik dan cerdik, maka saya ikuti proposal dan bugdet sampeyan. Saya langsung paraf dan tanda tangan. RKS/TOR dan HPS Proyek penjerumusan Pandawa di Hutan Amarta saya setujui …!!! Di Proposal sampeyan, dengan meyakinkannya Pandawa pasti akan tewas karena hutan itu terkenal wingit, gung liwang – liwung, banyak demit dan memedi yang siap memusnahkan jalma manusia. Hutan itu terkenal dengan keangkerannya, siapapun yang ke sana, pasti hanya tinggal nama !!! Gila…gila. Proyek fail, gagal total. Budget habis, hasil nol besar. Padahal aku tahu, banyak unsur yang Paman Mark Up…Uang SPPD tidak sesuai aturan, kuitansi kosong, tiket palsu….Oakay.. saya tutup mata. Karena memang tidak ada yang lebih dari Paman. Semua prajurit dan punggawa juga sesepuhku bodho semua. Paman juga bodho, tapi kelebihan paman karena sampeyan licik dan culas saja. Yang saya dapat, pandawa lecet sedikitpun tidak. Malah dapat kerajaan Jin Amarta dan kekuatannya berlipat – lipat karena masing – masing pandawa dapat tambahan kekuatan dan kesaktian satu jin.” ”Mohon maaf angger, saya tidak akan mengulangi lagi…” ”Mblegedhesssss……………..Hanya maaf dan sorry yang bisa paman sampaikan, katakan. Tidak adakah kata – kata yang lebih bernas !!!” Sangkuni diam seribu basa! ”Bapa Drona !!!” Duryudona mengalihkan sasaran kepada Begawan Drona ”Sendika Anak Prabu…” ”Saya tahu….Sebenarnya Bapa Drona lebih sayang dan cinta kepada adik – adik pandawa daripada kepada Kurawa. Badan dan raga paman di Astina, tetapi hati dan pikiran Paman di Amarta…, saya tahu itu. Katanya Bapa itu guru sebala guru…” Ok…sebentar…, training Bea Dulu…:) Duryudona masih dalam kemarahannya, giliran ke Pandita Druna… ”Bapak Guru, katanya sampeyan adalah Guru segala Guru…Tapi mengapa hanya mengeliminasi Arjuna saja, sampeyan tidak mampu. Malah dia lolos terus melewata babak audisi, babak semi final, babak final dan akhirnya menjadi juara memanah antar Jawa Dwipa…Ada apa ini…..????, saya sangat curiga Bapak Guru ada main dengan mereka para Pandawa. Bapak Guru….., setahu saya dan atas laporan para punggawa, semua kebutuhan Bapak Guru sudah kami penuhi. Tunjangan mengajar sudah kami lebihkan. Biarpun Bapak Guru jarang mengajar karena kebanyakan proyek di luar, saya kasih dispensasi. Gaji tetap penuh, tunjangan tidak dipotong. Proyek pribadi selalu sukses, tapi giliran proyek untuk kepentingan kerajaan ….MEMBLE….Perlu contoh proyek kerajaan yang Bapak handle tapi gagal ???, wah buanyak Bapak. Saya sebutin satu saja. Bapak pasti ingat proyek ’PEKERJAAN PERENCANAAN DAN PELAKSANAAN ELIMINIASI BRATA SENA’ beberapa tahun yang lalu ??. Bapak, berapa budget yang bapak habiskan dengan janji Bratasena akan tewas di Gunung [waduh lupa namanya apa ]? Bapak bilang Bapak bisa menjerumuskan Bratasena dengan menyuruhnya mencari Kayu Susuhing Angin di Gunung itu? Apa yang terjadi kemudian ? Bratasena tidak mati, malah pulang mendapat kesaktian berupa cincin yang bisa membuatnya mengarungi samudra !!!!! Ada proyek lain, penghilangan Bratasena di Samudra, gagal juga. Malah bratasena tambah kuat karena mendapat kesaktian dari Bethara Ananta Boga. Dapat istri cantik lagi, anaknya ananta Boga itu…Wah kurang ajarr !!!!. Sekarang Bapak mau bilang apa ? Masih ingin kompensasi lagi, kenaikan tunjangan mengajar, dispensasi proyek pribadi ??” Pandita Druno adala professor di Astina. Dia adalah guru Pandawa dan Kurawa. Sebagai professor, selain pintar dia juga bijaksana, wise. Dia tahu, percuma menanggapi orang marah dan agak sedeng seperti Duryudono saat ini. Hanya kerena hutang budi yang tidak seberapa saja, dia mau bertahan di Kampus Sukolimo yang masuk area Astina. Maka dengan kesabarannya, Pandita Drona hanya bilang “Mohon maaf dan mudah – mudahan masih bersarabar Anak Prabu…”. “Maaf dan sabar lagi, kapan saya dapat hasil yang saya inginkan……?”. Giliran Adipati Awangga Basukarno kena semprot. “Kakang Karno…., Saya sangat membanggakan Kakang sebagai senopati unggul di Astina. Saya sangat percaya dengan kesaktian dan kemampuan Kakang dalam berperang. Tapi Kakang sama saja dengan yang lain, dalam hati lebih sayang pada Arjuna daripada kepada kami para Kurawa. Itulah kenapa hanya untuk seorang Arjuna saja Kakang tidak bisa mengatasi. Atau lebih tepatnya pura – pura tidak bisa mengatasinya. Kalian semua hanya bisa ngomong kosong…..!”. “Oakay Guys….!” Duryudono keluar gaya premannya, dan melanjutkan kemarahannya. “Sekarang tinggal sepuluh hari lagi Pandawa akan sukses dalam penyamarannya. Dan kita harus mengembalikan Amarta dan separo Astina. Saya sudah kasih waktu satu tahun untuk menemukan Pandawa. Tapi hasilnya nihil. Jadi kerjaan intelejen kita itu ngapain saja ?? Budget dan Anggaran selama setahun ini, larinya kemana ????. Jangankan bagaimana Pandawa, indikasi lokasi Pandawa saja kita tidak tahu!!!. Apa yang saya harapkan lagi dari kalian…Sudah kalian istirahat yang tenang, tidur yang nyenyak, makan yang enak…..Saya akan tangani sendiri Pandawa…!!!!…Minggirrrrrrrrrr”. Druyudono menghunus pedang, menerjang rapat agung. Belum sampai keluar balairung, datang Resi dari Talkanda, Resi Bisma yang sebenarnya eyang Para Kurawa dan Pandawa. Resi Bisma mencoba menenangkan Duryudono. ”Ngger, cucuku yang paling gagah, nggantheng dan perkasa. Yang sabar nak, jangan seperti anak kecil begitu to ah. Kamu itu khan raja besar dengan kekuasaan luas, jajahan banyak, pendudukmu banyak, kekayaan alam melimpah. Ah tapi mbok ya jangan gampang marah begitu to. Yang sabarrr.. Terus kamu bawa – bawa pedang terhunus seperti itu, ya malu lah…Nanti apa kata orang, kemana saja punggawa dan prajuritmu yang berlimpah dan sakti – sakti itu, kok Rajanya turun gelanggang sendiri ???. Sarungkan dulu pedangmu itu, duduk yang tenang kita bicarakan dengan kepala dingin apa permasalahan dan bagaimana cara mengatasinya”. Resi Bisma adalah Begawan syarat pengalaman, kesaktian, kebijaksanaan, dan kepandaiannya tiada banding. ”Cucuku Prabu, apa permasalahan yang kamu hadapi Ngger??” ”Eyang Bisma, sebenarnya simple saja. Para punggawa kerajaan bodho semua. Atau mungkin tidak ada niat untuk bekerja secara serius dan professional. Kakek Bisma tahu, sekarang ini sepuluh hari lagi Pandawa selesai masa satu tahun penyamarannya. Dan kalau penyamaran itu sukses tanpa di ketahui oleh Kurawa, maka saya harus mengembalikan Amarta dan separo Kurawa !!!. Wah saya tidak mau itu terjadi, karena para punggawa tidak tahu di mana Pandawa berada, saya akan mencari sendiri..” ”Kemana kamu mencari ? Apa kamu tahu kira – kira ada di mana adik – adikmu Pandawa ???” ”Tidak…!!!” ”He he..he…, la terus kamu mau ke mana ???. Cucu Prabu, kalau masalahnya simple seharusnya solusinya tidak rumit juga. Adik – adikmu Pandawa sudah memenuhi komitmen awal yang kalian sepakati bahwa karena mereka kalah main dadu maka mereka sanggup menjalani konsekuensi akibat kekalahannya itu. Mereka tidak pernah mempermasalahkan bahwa permainan dadu itu sendiri pantas digugat karena Kurawa sebenarnya bertindak curang. Iya apa tidak ???…… Sangkuni telah membuat siasat untuk mencurangi Puntadewa sehingga Puntadewa kalah. Cucu Prabu……., Pandawa telah memenuhi janjinya, maka kamu sebaiknya juga harus bersikap legawa dan menerima kenyataan Amarta harus kamu kembalikan. Apalagi Amarta sejatinya adalah tanah dan kerajaan empunya Pandawa. Mereka dengan susah payah dan menerjang segala risiko, memeras keringat, menahan lapar dan haus, menjalani perang tanding yang tidak ringan guna membabat hutan Amarta menjadi Kerajaan Amarta. Kemudian mereka membangunnya sehingga kegemilangannya mengalahkan Astina yang ratusan tahun lebih dulu didirikan dan dibangun…………. Astina Pura, kalau dirunut – runut, sebenarnya kamu wajib mengembalikannya bukan hanya separo kepada Pandawa tetapi seutuhnya. Karena memang kerajaan ini hak mereka….., kamu tahu itu. Orang tuamu hanya menerima titipan saja dari Pandu, karena Pandawa masih belum akhil balik, Bapakmu yang memangku Pejabat Kerajaan. Dulu janjinya, kalau Pandawa sudah akhil balik kerajaan akan dikembalikan kepada mereka. Tapi apa yang terjadi ??? Karena pengaruh adik iparnya ya Sangkuni itu, Bapakmu tidak mengembalikan kerajaan kepada Pandawa tetapi malah mengangkat kamu menjadi Raja dan Kurawa berkuasa atas tanah dan kerajaan titipan pamanmu itu. Karena itu Ngger….., menerima dan legawa lah untuk mengembalikan hak Pandawa yang memang bukan milik kalian Para Kurawa. Dengan demikian permasalahan akan selesai, dan saya jamin kalian akan mendapatkan perlakuan yang baik dari Pandawa. Toh mereka hanya meminta separo kerajaan. Separo kerajaan lagi tetap dapat kalian miliki dengan tenang serta berketetapan hukum yang sah. Separo kerajaan Astina bukan main main, meskipun separo masih terbilang sangat luas. Masih ribuan pulau dengan luas samudra yang tidak terkira. Barang tambang padat maupun cair, kalian tinggal mengeruk. Tidak akan habis ratusan tahun ke depan…Apa lagi yang kalian harapkan, cucuku ………..????” “Wahhhhh, Kakek ….!!! Sampeyan tidak perlu memberikan kuliah umum buat saya. Percuma, jangankan Kakek yang hanya Resi, Kepala Negara tetangga kita menguliahi kami para kurawa pun, kami tidur. Kakek…!!!!!! konon khabar yang terdengar di luaran Kakek punya kesaktian linuwih. Mengerti sebelum terjadi, tajam penglihatannya, peka pendengarannya, sekarang saya mau tanya, Apakah kakek tahu di mana Pandawa saat ini berada ??? Saya hanya butuh jawaban itu, tidak kuliah umum yang panjang lebar.” “Oalah Ngger – nger…, Baiklah tapi aku tidak tahu di mana Pandawa. Kalaupun aku tahu di mana mereka berada, aku tidak akan mengatakannya kepadamu. Tapi Duryudono, Kakek tahu bagaimana tanda – tanda suatu tempat di mana kemungkinan para pandawa ada di situ” “Bagus….!!!!! Kalau begitu ceritakan saja tanda – tandanya…Dengan begitu seharusnya pasukan intelejen Astina dengan pasti dapat mengetahui di mana para Pandawa berada” “Begini kira – kira tanda – tanda itu. Kalau di suatu negeri, pemimpin dan penduduknya dekat dengan Allah, kalau pemimpin dan penduduknya rajin beribadah, bersikap jujur dan sederhana, dapat memegang amanat masing – masing, di situlah kemungkinan besar Pundatewa berada. Kalau di suatu negeri, para pemudanya rajin bekerja, para pemudanya terampil dan trengginas, tidak hanya mengandalkan relasi dan koneksi serta potensi orang tua atau mertuanya untuk mendapatkan proyek, cepat bangkit dan tidak mudah putus asa, di situlah kemungkinan besar Bratasena berada. Lalu…..jika di suatu negeri, kebudayaan, kesenian tumbuh subur dan diberi tempat yang layak oleh penguasa. Pencari dan pewarta berita dapat menunaikan tugasnya dengan tenang dan bertanggung jawab tanpa takut diberangus oleh penguasa, kira – kira di situlah Arjuna bertempat tinggal. Selanjutnya, jika pertanian, peternakan dan perikanan di suatu negeri berkembang dengan baik. Bahan pangan nabati maupun hewani tersedia berlimpah dengan harga terjangkau, bahan bakar tersedia mencukupi dengan harga yang wajar, maka dapat diduga kuat Nakula dan Sadewa ada di situ….” Belum sempat Resi Bisma menuntaskan pituturnya, tiba – tiba, menyeruak tamu yang tidak diundang ke tengah – tengah persidangan. “Misi, misi, misi, saya mohon ijin untuk bertemu Sang Prabu Astina Pura. Perkenalkan nama saya [wah, saya harus inget2 lagi, lupa, sebut saja raja X] X, dari kerajaan Tri Hargo. Maksud kedatangan saya ke Astina untuk mengabdi dan mengajak bersekutu Raja Astina Pura”, begitu Si Raja ini menyerocos saja tanpa perlu ditanya – tanya dulu. “He…ki sanak…Saya Raja Astina Prabu Duryudono! Tolong jelaskan apa maksudmu mengabdi dan mengajak bersekutu. Untuk apa dan dalam hal proyek mana ???” “Waduh….Sinuwun, kebetulan saya langsung dapat berhadapan dengan Raja Astina. Begini Prabu….., saya dengar dari dulu Kerajaan Astina itu kerajaan besar, wilayahnya luas, pulaunya banyak, lautannya subur dengan sumber daya perikanan dan barang tambang tak terkira. Hutannya luas terbentang, penduduk berkecukupan hidupnya tanpa pernah kurang pangan dan sandang. Sudah sejak lama saya terkagum – kagum dengan kewibawaan dan kebesaran Kerajaan Astina. Sudah sejak lama saya ingin berkunjung, belajar dan magang bagaimana menjadikan kerajaan maju dan berkembang seperti Astina. Hanya saja…, mohon maaf Prabu, saat sekarang pamornya sudah agak memudar. Ibarat Matahari, sinarnya tidak terlalu terang lagi karena memasuki senja hari dan tertutup awan mendung. Kebesaran dan kemegahan Astina Pura tertutup dan terhalang kerajaan lain yang sebenarnya tidak terlalu besar dari sisi luas wilayah. Mungkin hanya sekitar kurang dari seperempat wilayah Astina. Saya dengar, dulu kerajaan ini belajar dari apa yang dilakukan oleh Astina. Sekarang….kenyataanya kerajaan ini jauh meninggalkan Astina. Bahkan saya dengar banyak seniman dan hasil kesenian Astina yang lebih berkembang di Kerajaan ini, Kerajaan ini pun dengan terang – terangan mengklaim bahwa beberapa hasil seni dan budaya Astina adalah milik dan hasil karyanya…..” “Hei…hei….Sampeyan yang hati – hati kalau bicara. Kalau terbukti bicara sampeyan tanpa fakta saya bisa musnahkan sampeyan saat ini juga”. Dursasana kebakaran jenggot merasa tersinggung negaranya dilecehkan seperti itu. Biasa, memang wataknya untuk pukul dulu urusan belakangan. “Sabar Raden, saya berbicara seperti ini tidak bermaksud merendahkan Astina. Justru saya ke sini untuk mengabdi dan bersekutu guna mengembalikan pamor Kerajaan Astina dibanding kerajaan tetangga ini” “Kalau begitu, katakan Negara mana itu ? Dan bagaimana kamu membantu kami ?”, sergah Duryudono meredakan ketegangan antara tamu tak diundang ini dengan adik – adiknya yang mulai naik pitam. “Baik Sang Prabu… Negara ini tidak lain adalah Wiratha. Di luar beredar khabar Negara ini lebih makmur dan berjaya daripada Astina Pura. Di pergaulan dunia, Wiratha disebut terdepan dari pada Astina…” “Lalu, bagaimana caranya mengembalikan pamor Astina menurutmu ???” “Solusi yang paling cepat adalah dengan menyerbu dan menghancurkan Wiratha. Ini sekaligus memperluas jajahan Astina Pura… ” “Hmm…..menarik juga usulanmu itu. Tapi pamrih apa kamu dengan menyerbu Wiratha ??” “Ha…ha….saya tidak pamrih apapun Prabu. Saya tidak hendak memperluas wilayah Tri Hargo, saya sudah merasa cukup dengan wilayah kerajaan saya meski tidak punya pantai dan laut. Saya hanya dendam dan sakit hati saja dengan Raja Wiratha. Tahun lalu, lamaranku terhadap putri satu – satunya Raja Wiratha ditolak. Saya merasa dipermalukan dan sakit hati sampai dengan saat ini. Oleh karena itu, saya ajak paduka bersama menyerang Wiratha, silakan ambil harta jarahan, wilayah jajahan, dan rampasan perang lainnya. Saya cukup memaksa putri kerajaan untuk menjadi istriku saja. Bagaimana, menarik bukan ?? Deal ???” “Wahhh, iya sangat menarik itu. Tapi seyakin apa kita bisa mengalahkan Wiratha ? Apa kamu tahu mereka punya senopati kembar yang sulit ditandingi. Raden Rupa Kenca dan Kencaka Pura ???” “Ha..ha….., jangan khawatir Prabu…Kedua senopati andalan Wiratha itu suah mampus, meninggal, was death. Konon kabarnya dibunuh oleh Gondoruwo, tapi Raja tidak percaya dia menuduh danyang kerajaan yang membunuh. Sekarang, danyang kerajaan itu sedang menunggu vonis hukuman mati…” “Ah masak…, yang bener, kedua satria itu begitu sakti, bagaimana bisa tewas semudah itu???” “Sang Prabu…, begini ceritanya…” Dalang di layar tengah menghentikan adegan ini, cerita flashback Raja X digambarkan di pantulan bayangan pada layar dengan bantuan proyektor. Penonton melihat kelebatan bayang – bayang adegan cerita bagaimana meninggalnya kedua senopati kembar itu. Saya akan melanjutkan tulisannya lain kali…. Di layar utama dengan bantuan proyektor dan notebook dipentaskan oleh dalang yang berada di belakang layar menghadap penonton. Di lingkungan Kerajaan Wiratha… Wiratha merupakan kerajaan yang berbatasan dengan Astina, dipimpin oleh Prabu Mastwapati. Sang Raja mempunyai tiga putra Seta, Utara, Wratsangka dan satu putri Dewi Utari. Sang Raja mempunyai dua adik ipar Kencaka Pura dan Rupa Kenca, keduanya pejabat teras (patih) di Kerajaan Wiratha. Ini cerita Raja Tri Hargo ”Begini cerita yang saya dengar dari telik sandi saya Prabu”, kata Raja Tri Hargo kepada Prabu Duryudono. Saat itu, Kencaka Pura menggoda Salindri (Salindri adalah nama samaran Drupadi, dia bekerja sebagai pelayan putri kerajaan Dewi Utari). Kelakukuan Kencaka Pura yang akan me-rudapaksa- Salindri ini tiba – tiba dipergoki seseorang atau sesuatu. Entah bagaimana ceritanya yang jelas Kencaka Pura mencoba melawan si penyerang. Tetapi Kencaka Pura tidak kuasa melawan. Akhirnya death, mati, tewas, binasa. Kencaka Pura terbunuh. Adik Kencaka Pura, Rupa Kenca berikutnya yang terpesona dengan kecantikan rupa dan body Salindri. Kepincut….. ”Wa la dalah….ada cewek cantik sendirian di tengah taman.. Gua gebet juga nih cewek.”, begitulah pikir Rupa Kenca(RP). Maka mulailah RP menggoda Salindri.. ”Suit…suit….”, mula – mula dengan siulan kecil. “Ehm..ehm…, sang putri…boleh dunk kenalan ??” “Ki sanak…, ya boleh saja orang cuman kenalan kok nggak boleh to ya ?? Namaku Salindri, di Wiratha aku bukanlah seorang putri, hanya pelayan dan danyang di keputren saja kok.” “Oh begitu…., tapi cantik mu mengalahkan dewi Ratih di Kahyangan lo…”, RP mulai merayu… “Terimakasih raden…, saya permisi dulu…” ”Na..na..,sebentar to. Kok buru – buru amat, mbokya kita tuker – tukeran No HP dulu ntar tak SMS yo…?” ”Waduh…ndak usah Raden, saya ini hanya pelayan keputren kok. Ya ndak punya HP to, buat apa…” ”Oh…Hari ini, gak punya HP ???? Tapi biarlah gpp, kita kenalan aja. Ntar tak beliin HP. Aku ini punggawa Kerajaan Wiratha, Pejabat Teras. Patih…Jadi, tahu sendiri lah. Proyekku banyak, aku punya anggaran sendiri yang bisa aku kelola. Jangankan cuman HP, tinggal batuk aja, ibaratnya Vendor – vendor akan kasih apa yang aku sebut. Ya..ya.., kita kenalan yuukk? Atau gini deh, kalau kamu nggak mau kenalan, ya uwis kita sir – siran aja, pacaran kata anak jaman sekarang. Okay ya ?” ”Walah…Raden ini lo, ndak usah ya Raden. Saya ini sudah ada yang punya, saya sudah bersuami…” “Ahhh…suami khan bisa diatur nanti…, Sapa to suamimu ??? Kira – Kira pangkatnya apa ? Dan siapa lebih ganteng, aku apa suamimu ???. Ya sudah, kalau pacaran nggak mau, kita kawin saja. Gimana ??”, Sambil mengedipkan mata RP mulai kurang ajar “Wah..jangan Raden, saya tidak bisa dan itu tidak mungkin terjadi” “Sekali lagi…aku ini pejabat lo, aku bisa maksa siapapun unuk menuruti kemauanku, termasuk kamu yang hanya batur, pelayan, abdi keputren” “Jangan Raden…” “Mau apa tidak ??” “Tidak bisa Raden…” “We lah, kamu minta tak rudapaksa ya…? Baiklah kalau begitu, cara halus nggak bisa. Aku pakek cara kasar….!!!” RP mulai memaksa Salindri dengan cara kasar. Tapi tiba – tiba ketika RP sudah mulai memaksa Salindri dan ketika baru memegang tangan Salindri, RP mulai menjerit – jerit kesakitan. Kemudian mati dengan luka sobek di leher dan mata melotot. Tidak ketahuan siapa yang membunuh ”Begitulah Prabu, kedua senopati andalan Wiratha sudah tewas”, Raja Tri Hargo menutup ceritanya. ”Jadi sekarang adalah saat yang pas untuk menyerang Wiratha guna memperluas jajahan Astina. Saya tidak minta apa – apa sebagai imbalan. Silakan kerajaan dan semua harta rampasan menjadi milik Paduka dan Kerajaan Astina. Oakay ??. Saya hanya pingin Dewi Utari. Saya juga dendam kepada Raja Wiratha, mengapa lamaranku ditolak” ”Hemmm, tawaran yang menarik..”, Jawab Prabu Duryudono yang memang silau dengan harta dan kekuasaan. ”Aku setuju dengan ajakan dan tawaranmu, sekarang siapkan pasukanmu. Prajurit Astina akan menyerang Wiratha dari perbatasan utara, silakan Pasukan Tri Harga menyerbu dari perbatasan selatan…” ”Ha..ha…ha…, kham begitu Prabu. Baik, sendika dhawuh… saya dan pasukan Trihargo berangkat sekarang…”. Raja Tri Hargo lengser dari pisowanan. ”Cucu Prabu…” Resi Bisma mencoba menyela pembicaraan. ”Ya Kakek Prabu, ada usulan apa lagi ? Sudah ada TOR nya apa belum ???” ”Hemmm…kamu itu lo, pejabat tertinggi kerajaan kok ya orientasinya proyek terus.!. Cucu Prabu, baiknya kamu pikir sekali lagi mengenai penyerangan ke Wiratha ini. Tidakkah ini akan menambah musuh baru, padahal Raja Wiratha itu terhitung kerabat dekat. Astina. Lagi pula, kok kamu meladeni omongan Raja Tri Hargo yang baru kamu kenal. Hanya dengan janji – janji manis saja kamu terhanyut. Kamu tidak dibius apa dihipnotis to??? Tidakkah kamu mikir, sebenarny itu tadi Raja penakut, Raja licik, sekaligus culas. Wong lamarannya ditolak kok mencak – mencak. Kalau dia jantan dan berani ya akan dihadepi sendiri to Raja Wiratha itu. Itu tadi nyari temen, sebab dia tidak bisa ngerjain sendiri, itu tadi cuman makelar..Kok kamu ikuti….Raja itu tadi takut darah, takut repot, makanya nyari teman. Makanya cucu, kamu sebaiknya…. ” ”Sudah – sudah…Kakek diam saja, aku tidak memerlukan nasihat dan petuahmu. Proyek ini akan aku kerjakan sendiri, kalau kakek mau ya ikut, kalau tidak yak sudah nggak usah ngrecoki” ”We lah….ya sudah, tidak ada gunanya aku di sini.. Aku pamit pulang ke Talkanda. Drona, Karna, Sangkuni, aku pulang dulu. Percuma meeting kalau sudah tahu hasilnya harus ikut Boss terus…Permisi…” Resi Bisma pun keluar dari balairung kerajaan Astina. Layar tengah menyorot adegan persidangan di Kerajaan Wiratha. Raja Maswapati memimpin dan mengadili persidangan terhadap Salindri, abdi keputren, yang dituduh melakukan pembunuhan terencana terhadap dua senopati Kerajaan Raden Rupa Kenca dan Kencaka Pura. “Salindri….., apa pembelaanmu atas tuduhan pembunuhan berencana terhadap adik – adik iparku ?”,mulailah Prabu Matswapait mencecar Salindri layaknya hakim tunggal. -Prabu Matswapati- “Ampun paduka, ijinkanlah hamba membela diri guna mendapatkan keringanan hukuman atas musibah ini. Sejatinya, di malam kematian Raden Kencaka Pura dan Rupa Kenca tersebut, saya dalam posisi membela diri. Karena pada saat itu keduanya berniat memaksa hamba untuk melayani nafsu mereka. Saya tidak mau Paduka, Raden Kencaka Pura marah besar kemudian mematikan lampu taman dan memaksa saya, entah bagaimana jadinya tiba – tiba saja saya mendengar jeritan Raden Kencaka Pura, kemudian saya melarikan diri. Dalam pelarian saya dicegat oleh Raden Rupa Kenca yang berniat sama. Saya sudah sempat dipegangnya, saya tidak dapat melakukan apa – apalagi ketika Raden Rupa Kenca mendekap tubuh saya. Yang hamba lakukan hanya dapat merintih, menangis dan memohon pertolongan yang Maha Widi. Saya benar – benar tidak tahu apa yang terjadi karena gelap gulita waktu itu Tiba – tiba saja Raden Rupa Kenca menjerit dengan tubuh berlumuran darah, tewas. …” “Wah..kamu mengada – ada, terus siapa yang membunuh mereka berdua ??? Yang ada hanya kalian berdua saat itu???” “Memang paduka, setahu saya hanya kami berdua baik dengan Kencaka Pura maupun Rupa Kenca, tidak ada manusia yang lain. Hamba kira Gonduruwo yang membunuh mereka Sang Prabu….” “Edannn…kamu malah semakin ngelantur, bagaimana Gonduruwo bisa membunuh kedua pejabat teras kerajaan itu ? Mereka berdua adalah andalan kerajaan Wiratha karena kesaktian dan trengginasnya mereka. Salindri…!!! Bagaimanapun kamu saya anggap telah melakukan pembunuhan atau paling tidak kalau kamu tidak mengakui membunuh, kamu telah menyebabkan mereka terbunuh. Meskipun berdasarkan keterangan telik sandi kerajaan, mereka berniat mendongkel aku dari kursi Raja, tetap pembunuhan ini tidak dapat dibenarkan karena itu kamu harus dihukum..” “Mohon ampunan Paduka…..” “Untuk menebus kesalahanmu dan peringatan terhadap pelaku kriminal berat yang lain, kamu akan dihukum gantung…!!!” “Duh Paduka….tidak kah ada pertimbangan dari apa yang sudah saya lakukan dan pengabdian saya untuk kerajaan sehingga saya harus menerima hukuman seberat ini?? Mohon kemurahan paduka….” “Hmmmmmm….Salindri, memang selama ini kamu selalu berbuat baik dan tidak ada catatan kriminal sebelumnya. Putriku Dewi Utari pun memohon – mohon agar aku memberikan pengampunan kepadamu. Tetapi…hukum negara harus ditegakkan dengan tanpa pandang bulu, siapapun yang berbuat salah entah itu Raja, anak nya, kerabatnya, pejabat nya siapapun harus dihukum. Aku tidak ingin kewibawaan dan kehormatanku tercederai karena bersikap pilih kasih. Tidak ada yang bisa melawan hukum entah itu uang, hubungan darah, atau tekanan politik lainnya. Karena itu Salindri…siap – siaplah pada waktunya nanti kamu akan digantung sebagai hukumanmu.” ”Aduhhhh sinuwun, kasihanilah saya, sebagai perempuan yang lemah tanpa pernah berlatih kanuragan, olah perang maupun belajar kesaktian, bagaimana mungkin saya bisa membunuh kedua Senopati Perang Kerajaan tersebut dengan tangan saya sendiri ?? Tidakkah itu jadi pertimbangan sinuwun…???Lalu bagaimana dengan harga diri saya yang secara semena-mena dengan rudapaksa akan dirampas begitu saja oleh kedua satria tersebut hanya untuk memuaskan nafsu mereka ? Tidak kah mereka pantas mendapat hukuman juga Sang Prabu….? Lalu bagaimana dengan kebijakan kerajaan yang secara tertulis harus melindungi perempuan dari kekerasan dan pelecehan ??? Mohon kebijaksanaan sang prabu yang saya kenal sebagai orang Raja yang bijak” ”Hmmmm, sudah – sudah !….kamu mulai menggurui aku” ”Mohon ampun paduka….” ”Baik…juga dengan pertimabangan tangisan Putriku, hukumanmu aku ringankan. Kamu harus minggat sekarang juga dan jangan pernah kembali ke Wiratha. Kamu sudah menjadi aib dan penyebab malapetaka kerajan” ”Beribu – ribu terimakasih atas kebijaksanaan dan kemurahan paduka. Tetapi perkenankan saya menawar lagi paduka, saya mohon waktu tujuh hari lagi sebelum saya pergi dari Wiratha ????” ”Berikan aku alasan, mengapa harus tujuh hari yang kamu perlukan. Begitu lama…” ”Masih banyak tugas dari Putri Utari yang belum saya selesaikan Paduka, waktu tujuh hari hamba rasa mencukupi. Hubungan kami sudah begitu dekat, saya perlu menyiapkan perpisahaan ini demi kebaikan kami berdua Raja. Terlebih lagi, masih ada beberapa tanggungan hutang dan kewajiban saya kepada para tetangga di Keputren. Karena itu hamba rasa, waktu tujuh hari merupakan waktu minimum yang hamba perlukan untuk menyelesaikan semua itu Paduka.” ”Hmmm, ya sudah aku kabulkan permitaanmu. Sekarang, kembalilah ke keputren. Keperluanmu di sini sudah selesai…” ”Mohon pamit Paduka…” Belum sempat Salindri mengundurkan diri dari pendopo persidangan, prajurit pintu gerbang perbatasan kerajaan tanpa dipanggil memasuki pendopo dengan tergopoh – gopoh dan terlihat sangat ketakutan. ”Mohon ampun sinuwun, Kerajaan Trihargo yang dipimpin Rajanya Susarman (hore…! akhirnya aku inget nama Raja ini) bersekutu dengan kerajaan Astina sudah sampai tapal batas kerajaan dan sebagian sudah menjebol pertahanan gerbang perbatasan. Mereka melakukan pengrusakan dan penyerangan Sinuwun. Para kawula, petani, pedagan, nelayan dan para buruh yang sejatinya tidak mengerti apa – apa telah menjadi korban Sang Prubu…” ”We la dalah…kurang ajarrr…………….! Dasar kedua raja itu tidak mengerti tata krama, menyerang tanpa tantangan dan pemberitahuan. Wajar saja kalau mental preman menjadi pejabat, ya seperti itu jadinya. Seta…, Wratsangka,…Siapkan pasukan, aku sendiri yang akan memimpin menghadapi amukan raja yang kurang pendidikan ini. Utara…, kamu jaga keputren dan kerajaan, ambil pasukan secukupnya untuk mendampingimu. Jangan sampai prajurit musuh mendekati kerajaan apalagi keputren…” ”Sendika dawuh Kanjeng Rama”, jawab Seta, Wratsangka, dan Utara serentak. Maka terjadilah pertempuran yang tidak seimbang antara Wiratha dengan sekutu antara Astina dan Trihargo. Singkat kata dalam pertempuran itu Raja Matswapati berhadapan dengan Prabu Susarman. Raja Matswapati kalah dan berhasil diringkus dan ditawan Prabu Susarman. Di tengah alun – alun Wiratha, Matswapati menjadi bulan – bulanan Prabu Susarman. Di lain pihak, dari belakang kerajaan Pasukan Astina menyerbu dengan dipimpin oleh Adipati Alengko, Raden Basukarno. Wiratha pun jebol Di tengah alun – alun Wiratha, Raja Matswapati diringkus Prabu Susarman dan menjadi bulan – bulanan. Raja Matswapati dihajar dan dipermalukan, menjadi tontonan bala tentara Trihargao dan Hastina. Kabar ini didengar dan diketahui Wijo Kangka. Bergegas Wijo Kangka menemui adiknya yang tertidur di pasar kerajaan, Jagal Abilawa. -Abilawa- Dengan sapa lemah lembut yang menjadi pembawaannya Wija Kangka membangunkan adikknya. ”Bilawa..adikku yang sentosa badannya, mengapa kamu enak – enak tidur di pasar sementara kerajaan Wiratha dilanda peperangan dan sekarang di ambang kehancuran. Tidak pantas dan bukan pada tempatnya, kamu sebagai warga kerajaan seolah tanpa ada rasa peduli terhadap kondisi negara ini. Bilawa.., bangunlah adikku. Kerahkan tenaga dan keahlianmu untuk cawe – cawe menyelamatkan Kerajaan….” Bilawa pun bangun. ”Waa….aku tidak tidur…., biarpun mataku terpejam batinku terjaga. Aku tahu semua apa yang terjadi sampai dengan saat ini. Tapi aku wegah, aku tidak sudi membela Raja dan pemerintahannya yang tidak peduli dengan nasib rakyat yang dipamonginya. Tanpa disuruh, aku akan membela Raja dengan raga dan nyawaku jikalau Rajanya mengerti kesulitan dan penderitaan rakyatnya. Tapi apa yang terjdi sekarang ??? Pemerintah dan elite kerajaan hanya memikirkan diri dan golangannya. Mereka hanya mencari jalan gampang untuk menyelesaikan permasalahan. Mereka tahu rakyat mengalami kesulitan, tetapi mereka malah menambah kesulitan rakyatnya. Mereka tidak mau dan tidak mampu mengendalikan harga – harga kebutuhan pokok rakyatnya. Bahan pangan semakin mahal, persediaan sangat terbatas dan sulit dicari. Bahan bakar semakin langka…..Harganya naik terus. Sementara para pedagang spekulan bermain sesuka hati dengan menangguk untung tak kepalang tanggung. Para penasehat kerajaan dan pengawal rakyat di dewan pertimbangan kerajaan bersikap seperti anak kecil. Yang mereka pikirkan hanya kenaikan gaji, peningkatan tunjangan dan pelesiran ke negara tetangga dengan menggotong sanak famili atas biaya negara. Pemerintahan macam apa seperti ini ???? Apa yang harus dibela kalau sudah seperti ini ???. Biarlah Wiratha hancur, mungkin lebih baik begitu. Bisa jadi lebih baik nasibnya kalau menjadi jajahan negara lain. Daripada diperintah bangsa sendiri, tetapi kenyataanya kebanyakan rakyat semakin hari semakin miskin. Untuk apa diperintah bangsa sendiri kalau pemerintah hanya berpihak kepada yang kuasa dan yang punya harta saja ?? Kalau aku bela keadaan ini, maka yang aku bela hanyalah kepentingan mereka semata. Apa Kakang mau menanggung dosaku karena membela Pemerintahan yang lalim itu ??? Biarlah Kakang, negara ini hancur. Kita bisa meninggalkan negara ini kalau kita mau” ”Aduh…adikku, Kakang mengerti apa yang kamu pikirkan dan rasakan. Kakangpun merasakan hal yang sama. Tetapi adikku….., saat ini bukan hanya Raja dan pemerintahan yang sedang terancam bahaya. Rakyat kebanyakan lah yang lebih menderita. Para petinggi kerajaan dan pedagang besar dengan mudah menyelamatkan diri adikku. Sebagian mereka sudah mengungsi, meninggalkan kerajaan. Sementara rakyat kecil, petani, nelayan, pedagang pasar tak kuasa menahan derita dan tidak ada kemampuan untuk menghindar dari amukan tentara Tri Hargo dan Hastinapura. Mereka kehilangan harta yang tidak seberapa, terlebih lagi mereka kehilangan rasa aman dan kedamaian yang selama ini mereka rasakan, sejelek apapun pemerintahan mereka saat ini. Bilawa…., kamu juga harus ingat bahwa hampir setahun kita numpang di Wiratha, bukan hanya di kerajaan tetapi kita juga menumpang di rakyatnya. Aku sebagai lurah pasar, sekecil apapun merasakan subsidi pedagang pasar itu sebagai kompensasi atas jasaku sebagai lurah. Adikku, kamu sendiri sebagai jagal peternakan sapi dan kerbau, juga merasakan cipratan rejeki pedagang ternak dan daging kota ini. Oleh karena Bilawa, kok ya ironis kalau kita hanya enak kepenak melihat penderitaan para kaum bawah ini. Bilawa…, baiklah kalau kamu tidak sepakat dengan pendapat Kakang ini, biar Kakang yang maju ke medan perang dengan segala keterbatasan yang Kakang miliki. Teruskan istirahat dan tidurmu dengan nyaman..” ”Waa………..ya sudah, sudah….Dari dulu sampai nanti mati aku menghormati Kakang sebagai ganti Bapakku di dunia. Karena itu, mohon doa restu, biar aku labrak para perusuh kerajaan Wiratha. Aku pamit!” Bilawa menuju medan perang, dengan sekali terjang Prabu Susarman dapat dikalahkan Bilawa dan tewas di tengah alun – alun Wiratha. Prabu Matswapati dapat dibebaskan Bilawa. Saat bersamaan dengan ditawannya Prabu Matswapati oleh Prabu Susarman. Mengetahui pertahanan Kerajaan yang sudah hampir jebol, Utara yang seharusnya mempertahankan kerajaan dan keputren bergegas memasuki keputren untuk mengajak adiknya melarikan diri, tetapi ditolak oleh Dewi Utari. Di keputren selain Dewi Utari dan danyang – danyangnya juga ada Wrahatnala (yang sebenarnya adalah Raden Arjuna) sebagai pengajar tari dan karawitan. ”Utari….adikku, sekarang kondisi kerajaan sudah sangat genting dan nyaris jebol. Pasukan kerajaan Wiratha sudah tidak bisa bertahan lagi akibat serbuan dari kedua sisi kerajaan. Karena itu Utari, segeralah bergegas kita melarikan diri dari kerajaan…” ”We lah dalah..Kakang, mungkin memang pasukan kerajaan sudah kocar – kacir dan terpukul mundur. Tetapi khan masih ada Kakang Utara, senopati andalan Wiratha yang masih segar bugar. Mengapa Kakang tidak menghadapi perang itu ??” ”Utari, pasukan musuh terlalu kuat untuk dihadapi, pasukan dari dua kerajaan besar yang bersekutu dengan persenjataan lengkap tidak akan tertandingi adikku. Oleh karena itu daripada kita tertawan atau gugur, sebaiknya segera kita melarikan diri.” ”Ooo…, jadi Kakang Utata takut ? Baiklah…silakan minggir aku akan maju sebagai senopati kalau begitu. Utari tidak akan takut mati untuk membela kehormatan dan keutuhan kerajaan, meskipun aku hanya seorang wanita. Setidaknya akupun pernah belajar beladiri dan strategi perang.” Wrahatanala yang mengikuti percakapan kakak adik itu menengahi. ”Permisi putri dan Raden. Rasanya tidak pantas kalau Putri Utari maju perang sementara Raden Utara sabagai senopati kerajaan hanya diam menunggu atau bahkan melarikan diri” ”Hey…Wrahatnala, ini bukan perkara berani atau tidak berani. Kerajaan sudah hampir runtuh, sementara kekuatan musuh sangat besar. Lagipula kalau aku maju perang, tidak ada lagi kusir yang bisa mengendalikan kereta perangku.” ”Mohon maaf Raden, kalau saya yang menjadi kusirnya Raden dalam peperangan ini, bagaimana ?” ”Wee…lah, kamu khan hanya seorang wandu, banci yang hanya bisa mengajar tari dan karawitan. Mana bisa kamu menjadi kusir kereta perang??” ”Mudah – mudahan bisa Raden, setidaknya saya berani mempertaruhkan nyawa di medan perang ini. Saya dulu pernah menjadi kusir kereta perang Raden Arjuna, penengah pandawa itu. Jadi saya punya pengelaman dalam hal itu” ”We…la dalah, apa benar kamu pernah menjadi kusir Arjuna, cucuku itu ??”. Dilihat dari silsilah Para Pandawa sebenarnya adalah Cucu Buyut Prabu Matswapati dan dengan demikian adalah cucu Raden Utara. Saya akan susulkan silsilah nya ini lain kali (kalau sudah ingat atau menemukan…maklum sudah lupa – lupa ingat). ”Benar Raden, karena itu mari kita coba saja kalau Raden memang berani menjadi panglima perang menghadapi Kerajaan Trihargo ini” Sebenarnya Raden Utara ngeri hati untuk terjun dalam peperangan kali ini, mengingat gabungan tentara dari dua kerajaan penyerbu rasanya sudah tidak mungkin dikalahkan lagi. Apalagi Prabu Matswapatipun sudah menjadi tawanan Prabu Susarman. Namun karena rasa malu kepada adik dan abdi keputren, ditekatkan hatinya untuk berperang. Syahdan di medan perang dengan dikusiri oleh Wrahatnala, Raden Utara tidak mampu menunjukkan keahlian berperang layaknya Senopati Kerajaan disebabkan perasaan ngeri dan takut melihatan lautan pasukan musuh yang tak terkira banyaknya. Konsentrasinya buyar. Melihat gelagat ini, maka Wrahatnala pun mengusulkan untuk ganti posisi. ”Wrahatnala, benar kamu bisa menjadi senopati perang ini?” ”Mudah – mudahan Raden, asal Raden Utara bersedia menjadi kusirnya” ”We lah…la masak aku jadi kusir, aku ini khan putra dan senopati Kerajaan. Masak aku menjadi kusirmu seorang banci pengajar tari?? Yang benar saja. Aku tidak sudi ….!!!” Masih dengan congkaknya Raden Utara mendebat. ”Benar Raden, tetapi sekarang ini di medan perang, bukan di Keputren. Dan kali ini saya sebagai Senopati karena Raden tidak mampu. Di medan perang ini tidak ada Putra Raja atau abdi dalem keputren. Yang ada hanyalah panglima perang dan kusir kereta. Kalau raden tidak bersedia menjadi Panglima Perang maka pilihannya menjadi kusir. Atau kita kembali ke keputren dengan Raden Utara menanggung malu dihadapan adinda dan danyang-2 keputren lainnya??” ”Hemmm…ya sudah, sudah, biar aku jadi kusir saja kali ini. Tapi jangan bilang siapa – siapa kalau aku menjadi kusir lo ya…” ”Sendika dawuh Raden..” ”Ayo naikklah kereta, biar aku kusirnya” ”Tapi Raden, saya tidak membawa senjata apapun. Saya perlu senjata untuk menghadapi musuh yang bersenjata lengkap itu. Mari kita ke tegalan samping alun – alun kerajaan untuk mengambil perlengkapan perang dulu” ”O begitu, baiklah terserah kamu maunya gimana” Sampailah mereka di tegalan sebelah timur alun – alun yang menjadi arena pertempuran. Di tegalan yang rimbun dengan semak belukar dan tanaman basah itu terdapat salah satu pohon asam dengan daun yang lebat. Di pucuk tertinggi pohon asam itu tergantung bungkusan putih menyerupai pocong. Bungkusan itu berisi senjata – senjata andalan Arjuna di antaranya Pasopati dan Pulanggeni yang berupa senjata panah. Kedua senjata ini unik dan mudah dikenali sebagai senjata andalan Arjuna, hanya Arjuna yang punya. ”Raden Utara, di pucuk pohon asem itu Raden lihat tergantung pocong kain putih, tolong Raden memanjat dan mengambilnya buat saya” ”We lah…kurang ajar. Aku ini Putra Raja lo, Senopati Kerajaan. Masak suruh pethekelan menek pohon asam..Ah yang benar saja kamu Wrahatnala…” ”Raden Utara, mohon diingat. Sekarang saya senopati perang dan Raden adalah kusir. Tugas Kusir adalah melayani dan mengikut perintah Senopati selama di medan perang. Sekarang Sang Senopati meminta kusir untuk mengambil bungkusan senjata di pucuk pohon asam itu, bagaimana ? Kalau tidak mau, ya kita kembali ke keputren.” ”Walah, kena lagi…Ya sudah aku panjat, tapi kamu jangan bilang siapa – siapa kalau aku manjat pohon asam buat kamu ya.” ”Sendika dawuh Raden” Raden Utara mendapatkan pocong bungkusan kain putih. Dibukalah pocong itu oleh Wrahatnala. ”Hey…..Wrahatnala, aku kenal betul senjata – senjata itu. Pasopati, pulanggeni, dan keris itu……….Itu punyanya cucuku Arjuna. Dari mana kamu mendapatkannya, kamu pasti mencuri nya ya. Hayo ngaku, kalau tidak mengaku biar aku sendiri yang menghajar kamu saat ini juga di tempat ini juga” ”Sabar Raden, Eyang Utara….Sebenarnya saya adalah cucunda Arjuna..” Berceritalah Wrahatnala mengenai dirinya yang sebenarnya, alasan penyamaran yang dimulai dari permainan dadu Puntadewa dengan Duryudona, sampai dengan dimana saja saudara – saudaranya yang lain saat ini. Hanya saja, Wrahatanala memohon agar rahasia ini disimpan baik – baik sampai batas waktunya yang tinggal 3 hari ke depan. ”Waduh cucuku, ternyata kalian sangat dekat dengan kami. Kok kami tidak tahu ??? Waduh…jadi Kangko itu, Bilawa itu, kinten pangsen itu??. Wah yo kok kami ini bodho sekali, kami ini keterlaluan telah menyia – nyiakan kalian. Jadi Salindri itu Drupadi. Waduh Drupadi…Drupadi, hampir saja Rama prabu membunuhmu dengan tangannya sendiri…..Terimakasih Gusti, Kamu telah menyelamatkan kami dari kecerobohan dan kebodohan ini. Ya sudah Wrahatnala, karena kamu Arjuna. Mari cucuku, aku kusiri kereta perang ini. Aku jadi mantap sekarang mengendalikan kereta dengan panglima perang kamu cucuku” ”Mari, Eyang. Permisi saya naik keretanya” ”Ayo, silakan naik. Kamu senopati sekarang, aku kusirnya.” Situasi di medan perang. Di sisi depan istana kerajaan, Bilawa berhadapan dengan pasukan Tri Hargo, meskipun Raja Susarman sudah tewas, Tri Hargo masih memiliki ratusan senopati dan ribuan pasukan perang. Bilawa mengamuk dengan gada rujak polo. Bilawa dibantu separo kekuatan Wiratha yang menjaga perbatasan belakang kerajaan. Setelah sempat kehilangan harapan karena Raja Wiratha tertawan, kali ini Pasukan Wiratha kembali mendapatkan semangat dan kekuatannya. Kelihatannya peperangan mengarah kepada kemenangan pasukan Wiratha. Perlahan, setapak demi setapak pasukan Tri Hargo mundur ke garis perbatasaann belakang istana. Di sisi depan istana, Pasukan Hastina yang dikomandani oleh Prabu Basukarno semakin mendekati pintu gerbang istana. Separo pasukan Wiratha mencoba bertahan semampunya. Dengan sorak sorai kemenangan barisan Hastina sudah bisa menjangkau gerbang benteng istana dengan anak panah. Sampai Wrahatnala menunjukkan kesaktiannya dalam membelah barisan musuh dan melepas anak panah yang mengacaukan pertahanan musuh. Satu anak panah dilepaskan, sekejap kemudian berubah menjadi hujan ribuan anak panah di udara. Barisan perang Hastina dibuat kalang kabut dalam sekejap. Banyak diantara para prajurit tidak siap menghadapi serangan semacam ini. Dalam sesaat ratusan prajurit tersungkur . Kehebohan dan kepanikan melanda pasukan penyerbu. Di sisi lain, barisan Wiratha serasa mendapat second wind. Mereka bersorak – sorak menyambut senopati baru. Semangat mereka bertambah dan berlipat untuk terus merengsek mendesak mundur musuh. Pasukan Hastina mencoba mempertahankan wilayah yang sudah mereka kuasai. Namun hujan panah terasa tidak akan berhenti. Mereka melindungi diri dari hujan panah dengan tameng menutup kepala mereka. Namun dari depan, pasukan berkuda wiratha dengan tombak – tombak dan gada ditangan maju, menerjang, menyambar, memukul dan membabat. Terkejud Senopati Karno melihat situasi ini, maka diapun mengerahkan kesaktiannya. Dilepaskan lah anak panah oleh Karno. Seketika pula, hujan anak panah dari Wrahatnala berhenti. Berganti sora sorai ada di pihak Astina. Kembali lagi Wrahatnala melepaskan dan membuat hujan panah. Senopati Karno berniat menangkis, namun dari kejauhan tingkah Sang Senopati terlihat oleh Wrathatnala, Secepat kilat Wrahatnala melepaskan anak panah tepat menyambar Busur Panah Senopati Basukarno, patah berkeping dua.. Sebenarnya ini adalah pertanda bagi Basukarno mengenai siapa sebenarnya yang dihadipnya. ”He.he…” Prabu Basukarno tertawa dalam hati. Dia paham siapa di seberang sana yang dihadapinya. Tak lain adalah adik sepergurannya dalam olah anak panah, Arjuna. Arjuna juga adik kandung seibu dari Basukarno. Basukarno tersenyum dan mengguman ”He..he….he…Saya tahu siapa anak ini? Hmm iya adikku, aku tahu ternyata kamu. Hmm bagus, aku lega sekarang. Ternyata kalian adik – adikku Pandawa selamat dan baik – baik saja. Kalau kakang tega, Kakang bongkar rahasia kalian yang hanya tinggal dua hari ini. Maka habislah kalian. Tapi kalian tahu, bagaimanapun Kakang tidak akan mencelakakan kalian dengan cara nista seperti ini. Ya sudah Arjuna, kali ini cukup sampai di sini kita bertarung. Ada masanya kita akan bertemu lagi, mungkin di perang besar nanti. Aku tunggu adikku ”. Setelah melepaskan anak panah penyapu hujan panah Wrahatnala, Prabu Basukarno memerintahkan pasukan Astina mundur. Maka pasukan Astina mundur kembali ke Kerajaan Astina. Tinggal lah pasukan Wiratha yang bersorak karena kemenangannya ini. Di belakang istana, pasukan Tri hargo pun tidak mampu mempertahankan pukulan balik dari Bilawa. Keadaan mereka lebih parah, kehilangan Raja dan puluhan senopati. Maka penyerbuan terhadapa Wiratha dari kedua sisi, gagal. Malam hari menjelang akhir penyamaran Para Pandawa. Setelah para penyerbu berhasil diusir dari perbatasan menjelang pergantian hari ini. Belum sempat Bilawa, Wrahatnala, Wijakangko beristirahat untuk memulihkan tenaga. Kerajaan merasa perlu merayakan kemenangan Prajurit Wiratha yang gilang gemilang ini. Kerusakan, kehancuran, dan rasa penderiataan rakyat akibat perang beberapa hari ini, menjadi urusan nomor dua untuk dipulihkan. Raja Matswapati berpendapat semangat dan harga diri rakyat dan kawula perlu dipulihkan dulu dengan perayaan untuk menyuntikkan semangat dan rasa percaya diri di hati serta pikiran mereka. Perayaan ini sangat perlu untuk pemulihan rasa percaya diri itu atas nama kebangsaan dan kenegaraan Wiratha maupun kepada pemerintah kerajaan. Perayaan ini sekaligus untuk menyambut Sang Senopati Utara dari perbatasan depan Wiratha. Semua punggawa, senopati, putri dan danyang – danyang hingga kawula rakyat kecil diundang ke balairung istana kerajaan yang memang tidak tersentuh perang sehingga kemegahannya sebagai bagian Istana kerajaan Wiratha tetap terasa. Hadir pula ke paseban agung di hadapan Sang Raja, adalah Kangka, Bilawa dan Salindri. Sementara Wrahatnala dan putra mahkota Utara belum terlihat. Raja Matswapati memulai pidatonya dengan mengungkapkan rasa bangga hatinya karena putra mahkota Kerajaan berhasil memundurkan pasukan Hastina Pura. Begitulah yang disangka dan dibanggakannya. Kepada semua yang hadir tak henti – hentinya Sang Prabu memuji keberanian dan ketangkasan putra mahkota Raden Utara yang sepengetahuannya berhasil memukul mundur pasukan Hastina dari arah depan istana. Menurut khabar yang sampai ke telinganya, lawan yang dihadapi oleh Utara bukan lawan yang sembarangan, Adipati Karno. Seorang senopati dengan kemampuan dan kehlian perang tanpa tanding. Adipati Karno terkenal dengan kehlian memanah yang mencapai taraf sempurna. Juga diberikan senjata sakti oleh bapaknya, Bethara Surya, berupa keris Kyai Jalak yang dapat mencari musuh dan memusnahkannya dengan bertindak sendiri sesuai dengan keinginan Sang Adipati. Karno juga mempunyai anak panah, senjata kunta pemberian Sang Bethara Guru. Tetapi itu semua tidak berarti di hadapan Utara, putra kesayangannya. Kenyataannya Utara dapat mengatasi semua kesaktian Adipati Karno. Ini tentu saja prestasi yang luar biasa. Ini prestasi yang patut dibanggakan dan harus dihargai oleh para kawula dan raktyat Wiratha seluruhnya. Prabu Matswapati ingin menunjukkan kepada rakyatnya bahwa Negara dan kerajaan dalam kondisi aman terkendali, pemerintahan sangat dapat diandalkan untuk dapat mengatasi permasalahan apapun yang perlu dihadapi. Jadi tidak beralasan jika tersembul sedikitpun rasa tidak puas kepada pemerintahan. Semua yang hadir ramai bersorak dan mengamini kata demi kata Sang Prabu, meskipun banyak di antara mereka tahu situasi sebenarnya di lapangan bagaimana. Namun mayoritas di antara yang hadir adalah lingkaran dekat kerajaan yang sudah terlanjur menempati posisi enak – kepenak. Mereke sudah terlanjur menikmati fasilitas dan kemapanan yang bahkan turun – temurun. Terlalu berisiko bagi mereka jika mereka berani menentang apa yang dikatakan Sang Raja. Bagi kebanyakan mereka, apapun yang terjadi di luar sana tidak mereka pedulikan yang penting Bapak senang. Hingga giliran Raja Matswapati menumbukkan pandanganya kepada Kangka yang seolah tidak senang dengan suasana yang terjadi. Dari sikap dan pandangan mata Wija Kangko terlihat tidak sependapat dengan apa yang disampaikan oleh Sang Raja. Kangko, yang sebenarnya adalah Puntadewa, terkenal sepanjang hidupnya tidak pernah berdusta. Karena sikap luhurnya ini, Yang Maha Kuasa karena sayangnya, memberikan kelebihan kepadanya. Puntadewa mempunyai darah berwarna putih, tidak merah selayaknya jalma manusia yang lain. Dimulai pada masa akhil baliknya, jika berjalan kaki Puntadewa tidak menyentuh tanah karena sucinya jiwa dan raganya. Di Wiratha, Kangka cukup dikenal sang Raja karena keahliannya bermain dadu. Beberapa kali Sang Raja bermain dan diajari sukan dadu oleh Kangka. Maka wajah Kangka di perayaan kali ini pun tidak asing bagi Sang Raja. -Kangka Yogya- “Kangka…,aku menangkap dan melihat kesan kamu tidak suka dengan suasana perayaan saat ini. Ada apa ??? Kamu khan menyaksikan sendiri bagaimana Utara memimpin pasukan kerajaan Wiratha mengundurkan prajurit – prajurit Astina yang dipimpin Basukarno” “Mohon maaf Paduka, apa yang paduka katakan sebenarnya tidak benar” “Hey….!! Tidak benar bagaimana ??” “Sebenarnya yang mengalahkan Hastina bukan sang putra Utara, tetapi Wrahatnala ” “Ah …ngawur kamu, bagaimana Wrahatnala si banci itu sanggup perang tanding apalagi mengalahkan Karno??!! Jelas anakku Utara yang maju perang dan dia yang menang!!!” “Bukan paduka, yang menang perang Wrahatnala” “Bangsat….Kamu berani melawan aku ??!!” Raja Matswapati meluap kemarahannya. Merasa dikilani dadanya, diremehkan martabatnya, dipermalukan harga dirinya. “Yang menang Utara…..Iya apa tidak ???!!” “Bukan, Wrahatnala yang mampu mengatasi prajurit Hastina” Raja Matswapati tidak mampu lagi menahan amarahnya. Disambarnya cupu (pot) tanaman hias didekatnya, dilemparkanya ke Kangka. Tepat mengenai pelipis Wija Kangko, pelipis pecah mengucurkan darah segar berwarna putih. Belum sempat darah putih suci yang mengalir deras membasahi bumi wiratha yang amis ini, Salindri yang berada di samping Kangka menengadahkan telapak tangannya untuk menampung, menadah darah suci itu. “Salindri…!!!” Bentak Raja Matswapati. “Apa yang kamu lakukan, mengapa kamu tadahkan tanganmu seperti itu…? Sudah biarkan Kangka, tidak usah kamu ikut-2an mengurus. Sudah sewajarnya dia mendapatkan hukuman setimpal karena menentang Raja….” “Aduh….Sinuwun Prabu, mohon maaf atas kelancangan hamba. Sebagai istri, hamba berkewajiban merawat suami saya yang kesakitan ini. Lagi pula, sayang sekali bagi saya, darah suci ini kalau sampai menetes membasahi bumi. Oleh karena itu darah suami saya, saya tadah dengan tangan hamba sendiri.” “Wah….terserah kamu saja. Toh siang nanti kamu harus menjalani hukuman mati akibat pembunuhan atas Patih Kerajaan Kencaka Pura dan Rupa Kenca” Malam telah melewati pertengahannya, hari sudah berganti, tidak lama lagi fajar timur akan menjelang. Di luar balairung terdengar sorak sorai gemuruh layaknya tembok bata yang rubuh. Senopati perang telah kembali dengan membawa kemenangan. Bukan Utara yang memimpin pasukan, tetapi Wrahatnala yang di depan. Rombongan ini memasuki balairung istana. Heran Sang Raja melihat pemandangan ini, namun rasa bangga kepada putranya menutupi semuanya. Disambut, dipeluk dan diciumnya putra kesayangan yang menurutnya telah menang perang. “Ha…ha…ha…..Selamat datang sang senopatiku, Utara….aku bangga padamu karena Adipati Karno yang sakti mandra guna itu telah kamu kalahkan anakku. Tidak perlu menunggu lama, segera kamu aku angkat jadi raja menggantikanku Utara…” “Mohon maaf Rama, ijinkan hamba matur…” “Ya….bagimana ??” “Rama Prabu, sejatinya bukan saya yang memimpin pasukan dan mengundurkan musuh..” “Loh….la siapa ? Wrahatsangka ??? Atau Seto barangkali ???” “Juga bukan adik – adik saya itu …” “La terus siapa ???” “Wrahatnala…” “Ah kamu bercanda, yang benar saja. Bagaimana mungkin si wandu itu bisa memimpin pasukan Wiratha????” “Kepareng matur Rama Prabu, sebenarnya Wrahatnala itu tidak lain adalah Cucu buyut Rama sendiri, ya cucu saya Si Permadi” “Hey…??Gimana ?? Buyutku Permadi ???” “Sendika Rama, terus Kangka yang Ramanda lukai kepalanya tak lain adalah Puntadewa ya Yudistira, Bilawa adalah Bratasena dan dua pemuda tukang kuda dan pemelihara unggas kerajaan itu tak lain adalah Nakula dan Sahadewa, sinuwun…” Perasaan Prabu Matswapati saat itu campur aduk tidak karuan. Antara rasa malu yang dalam karena membanggakan keluarga sendiri yang ternyata salah dan kebahagian yang luar biasa karena cucu – cucu buyutnya dalam keadaan selamat dan dalam perlindungan kerajaannya meskipun tidak sengaja dilakukannya. Prabu Matswapati juga meratapi dan menyesali diri, mengapa pikiran dan rasanya begitu tumpul. Mengapa mata batinnya begitu tuli dengan situasi dan keadaan negerinya. Mengapa ia tidak tanggap ing sasmita melihat darah putih mengucur yang belum kering itu. Seharusnya dia tahu bahwa di jagad ini hanya Yudisthira yang mempunyai keistimewaan seperti itu. Mestinya dia juga merasa bahwa Bilawa yang menyelamatkan jiwanya adalah kerabat sangat dekatnya. Ciri fisik Bilawa mungkin bisa ditutupi, tetapi sikap dan sifatnya yang tetap konsisten, tanpa pamrih, tidak punya rasa takut, dan apa adanya itu seharusnya sudah mencukupi untuk menandakan bahwa dia Bratasena. Di luar sana fajar baru telah menyemburat dari ufuk ujung timur. Sebentar lagi sang surya akan menunaikan kewajibannya, menerangi jagad bahana, dunia seisinya. Memberikan penerangan kepada siapapun yang mau, tanpa pilih kasih dan tanpa pamrih. Dunia berganti hari, sepenggal hari lagi jatah umur siapapun, apapun yang didunia berkurang. Prabu Matswapati, merasakan siraman terang pada hati dan pikirannya. Keangkuhan dan kesombongan yang mengiringi kekuasaan serta kewenanganya perlahan sirna, tunduk tawaduk. “Waduh – waduh buyut – buyutku, mendekatlah kemari angger. Eyang ingin memeluk kalian satu per satu. Tiga belas tahun tidak melihat wajah teduh dan damai kalian, rasanya seperti sudah seumur hidupku. Drupadi, Yudistira, Bilawa, Nakula, Sadewa…Ah hemmm. Sini – sini ngger, aku ingin melihat dan menikmati wajah kalian satu persatu, cucu – cucuku. Ah hmmm, betapa bodonya eyang buyut ini. Kalau dilihat umur, aku ini ya sudah sepuh, tetapi hati dan batinku rasanya kok semakin tumpul. Kalau ditilik jabatan dan kekuasaan, aku ini ya Raja gung binathara, harusnya kebijakan dan welas asih yang eyang buyut kedepankan tetapi kenyataanya hanya congka dan arogan. Buyut – buyutku., rasanya umur eyang tidak akan lama lagi, harusnya eyang tambah prestiti ngesti ngabekti kepada gusti. Tetapi yang eyang terlalu terlena dengan mukti duniawi. Uyut…..maafkan aku ya ngger…Wah dosa apa yang eyang sandang..hemmm” Bagai banjir bah, penyesalan dan ratapan raja matswapati mengalir seolah tanpa henti. Gungun – gungun menangis seperti bayi. ”Sudah – sudah eyang..” Yudistira dengan lemah lembut menghibur Sang Prabu. ”Eyang buyut…tidak perlu disesali terlalu lama apa yang terjadi kemarin – kemarin. Eyang, kami semua sedikitpun tidak merasa eyang sakiti, kami harusnya berterima kasih karena Wiratha telah memberikan tempat perlindungan yang sempurna bagi kami berenam, sehingga kami lulus ujian yang sangat berat ini eyang. Namun kami tidak bisa melakukan apa – apa kecuali dengan tenaga dan keringat kami. Hamba dan adik – adik hamba, mohon ketulusan dan keluasan hati Paduka untuk memberikan ampunan atas apa yang telah kami perbuat di Wiratha Eyang…” ”Duh Pandawa…. pandawa….begitu luhur budimu cucu – cucuku. Pantes kalau kalian adalah putra Pandu. Ya sudah, hari sudah berganti siang. Sudah waktunya kita menata diri setelah pertempuran dan kekacauan ini. Hanya satu yang ingin eyang sampaikan. Disaksikan semua yang hadir di sini, disaksikan jagad seisinya, Yang Maha Kuasa, para dewata dan malaikat, eyang berjanji. Nanti saat perang baratayudha digelar, negara Wiratha seisinya, Raja, para putra, para senopati, prajurit, semuanya Eyang pertaruhkan untuk mendukung kalian para Pandawa sebagai balas budi atas jasa – jasa kalian mengatasi serbuan Hastina dan Triharga ” Janji Prabu Matswapati ini ditepati, semua putra senopati Wiratha gugur membela pandawa dan kebenaran pada hari – hari pertama perang besar Baratayuda Jaya Binangun.

Sunda

Wiratha Parwa   Lakon Wiratha Parwa ieu nyaritakeun carita nalika Pandawa nyanghareupan nyamur sataun sakali saatos aranjeunna parantos mundur ka leuweung 12 taun. Ieu kusabab Puntadewa anu bener-bener resep maén dadu kalah ka Duryudana dina sayembara dadu. Éta caket tungtungna sapuluh dinten nyumput Pandawa nyamar diri di Negari Wiratha. Puntadewa, lanceukna pangkolotna Pandawa disamarisasi salaku Kepala Désa Pasar kalayan nami Wija Kangko, Wrekudara nyamar janten petugas pambajakan sato anu nami Jagal Abilowo. Janaka janten waragad anu diajar karawitan sareng nari di Putri Royal Wiruta Royal. Nakul janten angon sareng juru Kuda, anu disebat Kinten. Sadewa janten pangurus sato nganggo nami Pangsen. Layar tengahna minangka layar utama pementasan percobaan Royal Astina Pura dipimpin ku Duryudono anu ambek - ambek sabab misi ngancurkeun Pandawa henteu pernah suksés. "Paman Sangkuni ...!" "DalemAnggerPrabu" "Éta paman anu lami, tapi tetep bodho ... Henteu mampuh, pikeun paman kuring parantos nyayogikeun sagala fasilitas anu dipundang paman, saku artos, komisi, bonus sanaos kuring henteu acan damel. Naon deui anu leungit ??? Kauntungan unggal proyék henteu pernah kasep! Tapi naha proyék na teu caket? !!! Sok liwat waktos, liwat anggaran, bahkan pernah terakhir carita !!.Proyék anu kahiji, saurna, bakal meracun Pandawa, henteu dibentur ku Pandawa tapi malah aranjeunna kuat! Proyék kadua, Pandawa sareng Drupadi dibeuleum hirup dina édisi Balai Sigolo - golo. Gagal !!!! Henteu aya Pandawa anu ngaduruk hirup, bahkan lima monyét anu teu aya gunana parantos maot. Nanging kalayan kareueus dugi ka laporan proyék suksés sareng lengkep. Kusabab dumasar kana perkiraan na réngsé langkung awal tibatan rencanana, dugi ka kuring mendakan bonus tambahan. Kuring Cinta ... Tapi, naon kanyataanana ... Pandawa masih hirup sareng séhat sareng séhat. Paman naroskeun hiji deui kasempetan pikeun ngajukeun proyék salajengna, nyatana kuring teu puguh. Tapi kumargi teu aya anu langkung ti anjeun, sahenteuna langkung licik sareng pinter, ku kuring ngiringan usul sareng bugdet anjeun. Abdi langsung nandatanganan sareng ditandatanganan. RKS / TOR sareng HPS I sapuk kana proyek pembantosan Pandawa di Amarta Leuweung ... !!! Dina Proposal Anu, ku cara ngayakinkeun ka Pandawa pasti bakal maot kusabab leuweung anu terkenal pikeun jangjangna, nyaéta liwang - liwung gung, seueur demit sareng memedi anu siap ngancurkeun jalur manusa. Lega kakoncara kakoncara ku saha waé, saha waé anu ka ditu, pasti ngan ukur sésa-séwang waé !!! Gélo ... gelo. Proyek gagal, total gagalna. Anggaran kaluar, hasil enol gedé. Padahal kuring terang, seueur elemen anu Paman Mark Up ... duit SPPD henteu dumasar kana aturan, resi kosong, tiket palsu ... Oke ...Kuring nutup panon kuring. Kusabab leres pisan henteu aya ti Mamang. Sakabeh para prajurit sareng punggawa sadaya abdi duka sesepuh bodho. Paman teuing bodho, tapi kaleuwihan pamanna sabab saukur licik sareng jahat. Anu ku kuring kéngingkeun ogé henteu janten panawa ogé. Nyatana, karajaan Jin Amarta sareng kakawasaanana dikalikeun kusabab unggal pandawa sanggup nambihan kakuatan sareng sihir ka hiji jin. " "Hampura, sobat, moal uih deui ..." "Mblegedhesssss …………… ..Japun hapunten hapunten anu paman tiasa nepikeun, saurna. Naha aya deui kecap anu langkung kuat !!! ”Sangkuni jempé sarébu basa! "Bapa Drona !!!" Duryudona ngancik waé ka Begawan Drona "Sendika Anak Prabu Siliwangi ..." "Kuring terang .... Leres, Bapa Drona langkung dipikacinta sareng dipikacinta sareng duduluran Pandawa ti Kurawa. Awak sareng awak Paman di Astina, tapi haté sareng pikiran kuring di Amarta ..., kuring terang éta. Saur anjeunna yén Bapa guru sareng guru ... " Ok ... sakedap ..., Bea latihan heula ... :) Duryudona masih dina amarahna, kéngingkeun ka Pandita Druna ... "Tuan Guru, saur anjeunna yén guruna sadaya Ibu ... Tapi naha ngan ukur ngaleungitkeun Arjuna, dugi ka anjeunna henteu tiasa.Nyatana anjeunna lolos teras-terasan lulus babak audisi, babak semi-final, babak akhir sareng akhirna janten juara panahan antara Java Dwipa ... Naon anu lumangsung ... ???? Tuan Guru ... ... sajauh kuring terang sareng dina laporan para abdi, abdi parantos nyayogikeun sagala kaperluan Guru. Kami parantos ningkatkeun tunjangan pangajaran urang. Sanaos anjeun henteu ngajarkeun seueur sabab sabagian proyek di luar, kuring masihan anjeun dispénsasi. Gaji tetep pinuh, pedah henteu dikurangan. Proyék pribadi sok suksés, tapi éta giliran proyék pikeun nguntungkeun karajaan .... AHLI .... Peryogikeun conto proyék karajaan anu anjeun padamel tapi gagal ??? Abdi parantos rutin sapertos anu salah. Anjeun pasti bakal émut kana proyék 'PERKUMBUHAN KERJA DAN PELAKSANAAN NGEIMAAN BRATA ELIMINIASI SENA' sababaraha taun ka pengker ??. Pak, sabaraha anggaran anjeun nyéépkeun janji yén Bratasena bakal maot di Gunung [oh, naon anu namina hilap]? Saur anjeun anjeun tiasa nyilakakeun Bratasena ku naros anjeunna milarian Susuhing Angin Wood di Gunung Luhur? Naon anu terjadi sabeulah? Bratasena teu maot, gantina sumping ka bumi pikeun nyandak sihir dina bentuk cincin anu tiasa ngalaut lautan !!!!! Proyék séjén, ngaleungitkeun Bratasena di Samudra, gagal ogé. Nyatana, bratasena parantos langkung kuat sabab gaduh sihir ti Bethara Ananta Boga.Gaduh istri anu geulis deui, putrana Ananta Boga ... Wah teu leres !!!! Ayeuna naon anu anjeun badé nyarios? Masih hoyong langkung seueur santunan, tambah tunjangan pangajaran, dispensasi proyek pribadi ?? " Pandita Druno nyaéta guru besar di Astina. Anjeunna mangrupikeun guru ngeunaan Pandawa sareng Kurawa. Salaku guru besar, salian ti pinter anjeunna ogé bijaksana, wijaksana. Anjeunna terang, éta teu aya gunana pikeun ngabales jalma anu ambek sareng rada hina sakumaha Duryudono dina waktos éta. Ngan kumargi anjeunna henteu ngagaduhan seueur hutang, anjeunna hoyong tetep di Kampus Sukolimo, anu aya di daérah Astina. Janten sareng kasabaran, Pandita Drona nembé nyarios "Hapunten sareng mugia - tetep sabar ka Raja King ...". "Hapunten sareng sabar deui, iraha kuring bakal kéngingkeun hasil anu kuring pikahoyong ...?". Adipati Awangga Basukarno giliran ngagaduhan disemprot. "Kakang Karno ... kuring bangga pisan Kakang salaku senopath unggul di Astina. Kuring leres-leres percaya kana kakawasaan sareng kamampuan Kakang dina tarung. Tapi Kakang sami sareng anu sanés, dina haténa langkung sayang ka Arjuna tibatan ka urang Kauravas. Éta sababna ngan ukur pikeun hiji Arjuna waé Kakang henteu tiasa diatasi. Atanapi rada pura-pura henteu tiasa ngurus. Sadayana ngan ukur tiasa ngobrolkeun omong kosong ...! "Oakay Guys ...!" Duryudono kaluar tina gaya premanna, teras neraskeun amarahna."Ayeuna ukur sapuluh deui dinten Pandawa bakal hasil dina nyamar. Sareng urang kedah uih deui Amarta sareng satengah Astina. Kuring parantos sataun sakali kanggo mendakan Pandawa. Tapi hasilna éta nil. Janten naon anu kedah urang lakukeun ngeunaan intelijen urang? Anggaran sareng Anggaran pikeun taun ieu, di mana anjeunna bébéakan ????. Cikan waé kumaha Pandawa, indikasi lokasi Pandawa urang ngan ukur teu terang !!!. Naon anu kuring ngarepkeun anjeun deui ... Dupi anjeun sakedik istirahat damai, bobo bobo, tuang séhat ..... kuring badé ngadamel diri Pandawa ... !!!! ... Mindahkeun kumisan. Druyudono narik pedang, lunging dina rapat agung. Henteu kaluar ti balé, sumping panampi ti Talkanda, Bhishma Resi anu leres nini-nini Para Kurawa sareng Pandawa. Resi Bisma nyoba nenangkeun Duryudono. "Ngger, incu lalaki abdi paling bageur, kasép sareng gagah. Sabar, tong janten budak sapertos kitu. Anjeun hiji raja anu hébat sareng kakawasaan anu ageung, seueur jajahan, seueur pangeusi, sumber daya alam. Ah, tapi ulah gampang ambek. Sabarrr .. Teras anjeun ngalaksanakeun pedang anu ditarik siga kitu, éra teras ... Terasna naon anu dicarioskeun ku jalma, dimana aya jalma-jalma anu kuat sareng kuat sareng prajurit, kumaha datangna Raja turun dina dirina sorangan ???Tahan pedang anjeun heula, calik sepi, urang bahas nganggo sirah anu tiis, naon masalahna sareng cara ngadalikeun éta ". Resi Bisma mangrupikeun Begawan kana kaayaan pangalaman, kakuatan gaib, kawicaksanan, sareng intelijen anu teu tandingan. "Budak incu abdi, naon masalah anu anjeun hadapi Ngger ??" "Eyang Bhishma, saleresna éta basajan. Singgir bumi sadaya karajaan bodho. Atanapi sigana teu aya maksad pikeun damel sacara serius sareng profésional. Eyang Bhishma terang, ayeuna dina sapuluh dinten Pandawa tos réngsé nyamandianana sataun sakali. Sareng upami nyamar éta suksés tanpa dikenal ku Kurawa, maka kuring kedah uih deui Amarta sareng satengah Kurawa !!!. Nya kuring henteu hoyong anu kajadian, kusabab abdi dalem henteu terang dimana Pandawa, abdi bakal milarian nyalira ... " "Dimana anjeun pilari? Naha anjeun terang dimana adik adi anjeun nyaéta Pandawa? " "Henteu ... !!!" "He he ... he ..., kamana manehna terus? Cucu Prabu Siliwangi, upami masalah mangrupikeun solusina henteu kedah nyusahkeun. Sadayana Pandawa anjeun parantos ngalaksanakeun komitmen awal anu anjeun sapuk yén sabab leungiteun dadu aranjeunna tiasa ngalaman akibat tina kekalahanna. Aranjeunna henteu kantos naroskeun yén kaulinan dadu anu pantes dituduh sabab Kurawa leres-leres ngalakukeun tipu daya.Leres atanapi henteu ??? ...... Sangkuni parantos ngadamel strategi pikeun ngapingkeun Puntadewa sahingga leungitadadewa. Cucu putu ..., Pandawa parantos ngalaksanakeun janji, maka anjeun ogé kudu lega sareng nampi kanyataan yén Amarta kudu dipulangkeun. Sumawona Amarta saleresna lahan sareng karajaan ti pihak Pandawa. Aranjeunna nyeri sareng gagah sagala résiko, kesang, tahan lapar sareng haus, ngalaman pertarungan anu henteu gampang motong leuweung Amarta kana Karajaan Amarta. Teras aranjeunna ngawangun éta sahingga kamulyaanna ngalahirkeun Astina, anu ngadegkeun ratusan taun ka pengker sareng diwangun …………. Astina Pura, upami ditelusuri - tilas, nyatana anjeun kedah ngintunkeun éta henteu ngan ukur satengah ka Pandawa tapi sacara lengkep. Kusabab karajaan ieu leresna ... anjeun terang éta. Kolotna anjeun ngan ukur nampa kasalametan ti Pandu, sabab Pandawa henteu acan uih deui, bapak anjeun Dinas resmi. Sateuacanna jangji, upami Pandawa parantos mulih karajaan bakal dipulangkeun ka aranjeunna. Tapi naon anu kajadian ??? Kusabab pangaruh tina beuteungna, Sangkuni, bapak anjeun henteu balik karajaan ka Pandawa tapi pikeun milih anjeun janten Raja sareng Kaurava maréntah pikeun tanah sareng karajaan anu diamanahkan pamanna.Kusabab éta Ngger ..., nampi sareng lega pikeun mulangkeun hak-hak Pandawa anu henteu kagolong anjeun Kurawa. Maka masalahna bakal direngsekeun, sareng kuring ngajamin anjeun bakal nampi perlakuan anu saé ti Pandawa. Barina ogé, aranjeunna ukur ngajak satengah karajaan. Satengah karajaan anjeun tiasa tetep di karapihan sareng ditangtukeun sacara sah. Satengah karajaan Astina teu maén, sanaos satengahna masih cukup lega. Masih aya rébuan pulo anu kawéntar daérah laut anu teu kaleungitan. Barang-barang pertambangan padet sareng cair, sadaya anu anjeun kedah lakukeun nyaéta pangalir. Éta moal kasép ratusan taun ka hareup ... Naon deui anu diarepkeun, putu abdi ……… .. ???? " "Wahhhhh, Eyang ... !!! Anjeun henteu kedah masihan ceramah umum pikeun kuring. Henteu aya gunana, sumawona Eyang anu ngan ukur katampi, Kepala Nagara urang tatangga anu kuliah ogé kami Kurawa ogé, urang bobo. Eyang ... !!!!!! cenah éta wartos anu nguping di luar Eyang kagungan kakuwatan gaib. Ngartos sateuacan éta kajantenan, panon henteu seukeut, pendengaran sénsitip, ayeuna kuring badé naros, Naha anjeun terang dimana Pandawa ayeuna ??? Kuring ngan ukur peryogi jawabanana, sanés kuliah panjang. " "Upami kuring sakedik ... Oke, tapi kuring henteu terang dimana Pandawa. Sanaos kuring terang dimana aranjeunna, abdi moal ngawartosan anjeun.Tapi Duryudono, Eyang terang kumaha carana masihan sinyalna tempat kamungkinan pandawa anu aya " "Saé ... !!!!! Teras nyarioskeun tanda-tanda ... Cara éta intél intelijen Astina kedah tiasa terang dimana Pandawa " "Ieu kasarna tanda. Upami di hiji nagara, para pamimpin sareng pendudukna caket sareng Gusti, upami pamimpin sareng pendudukna rajin nyembah, jujur ​​sareng sederhana, tiasa nahan amanah masing-masing, aya kasempetan anu luhur bakal aya Pundatewa. Upami di hiji nagara, para pamuda rajin damel, para pamuda mahir sareng yakin, henteu ngan ukur ngandelkeun hubungan sareng hubungan ogé poténsial sepuh atanapi mertua pikeun kéngingkeun proyek, bangun gancang sareng henteu gampang hina, éta tempat Bratasena paling dipikaresep. Teras ... upami di hiji nagara, budaya, seni ngagedekeun sareng dipasihan tempat anu saé ku otoritas. Panaliti sareng wartawan warta tiasa ngalaksanakeun tugasna kalayan tenang sareng tanggel waler tanpa sieun disaksian ku otoritas, anu tempat Arjuna cicing. Salajengna, upami tatanén, sato pertanian sareng perikanan di hiji nagara berkembang ogé.Pangan sayuran sareng sato sayogi sayogi di harga anu berpatutan, bahan bakar sayogi sayogi dina harga wajar, janten tiasa disangka yén Nakula sareng Sadewa aya…. " Sateuacan nampi upacara, Rish Bisma parantos nyarios biantara. "Misi, misi, misi, kuring nyuhunkeun ijin kanggo nyumponan Raja Astina Pura. Nepangkeun nami kuring [wow, kuring kudu émut deui, tong hilap, sebut wae Raja X] X, ti karajaan Tri Hargo. Tujuan tina kunjungan kuring ka Astina nyaéta pikeun ngaladénan sareng ngajak para satru Raja Astina Pura ", sahingga Raja langsung kabur tanpa nanyakeun pananya. "He ... ki baraya ... Abdi Raja Astina Prabu Duryudono! Mangga terangkeun naon hartosna ku ngaladénan sareng ngondang satru. Pikeun naon sareng istilah mana proyék ??? ” "Wah .... Sinuwun, kuring kakara kajantenan tiasa nyanghareupan Prabu Astina langsung. Tingali Raja ... ..., kuring nguping ti mimiti karajaan Astina mangrupikeun karajaan gedé, daérah ageung, seueur pulo, laut subur ku perikanan sareng sumber mineral anu henteu ukur. Lega leuweung lega, jalma ngagaduhan kahirupan anu santun tanpa kantos kakurangan dahareun sareng pakean. Kuring geus lila kagum ku kakawasaan sareng kaéndahan Karajaan Astina.Kuring parantos badé nganjang, ngulik sareng intern kanggo waktos ngadamel karajaan tumbuh sareng mekarkeun sapertos Astina. Mung sakadar ..., hapunten Raja, ayeuna éta Kinérja parantos saeutik. Jiga sapertos panonpoe, cahaya henteu langkung terang deui sabab ngalebet senen sareng ditutup ku awan. Keagungan sareng kamulyaan Astina Pura ditutup sareng dibatesan ku karajaan-karajaan sanés anu saleresna henteu langkung ageung ti sisi lega daérah éta. Panginten ngan ukur kirang langkung saparapat ti wilayah Astina. Kuring nguping yén karajaan ieu biasa diajar tina naon anu dilakukeun ku Astina. Ayeuna .... kanyataanna karajaan jauh ti Astina. Padahal, kuring parantos nguping yén seueur seniman sareng produk seni Astina langkung maju di Karajaan ieu, Karajaan ieu ogé sacara terbuka nyatakeun yén sababaraha karya seni budaya budaya Astina mangrupikeun barang sareng karya dirina ..... " "Héy ... heuheu .... Anda awas nalika ngobrol. Upami éta kabuktian yén anjeun nyarios tanpa fakta, kuring tiasa ngancurkeun anjeun ayeuna. Dursasana, janggut, karasa gelo ku nagara na diganggu sapertos kitu. Biasa, éta memang karakterna kanggo pencét urusan engké. "Kantenan Radén, kuring nyarios siga kitu teu niat ngina Astina.Sabalikna, kuring di dieu pikeun ngawula sareng sekutu pikeun ngalereskeun pamor Karajaan Astina dibandingkeun karajaan tatangga ieu ” "Teras saur nagara mana éta? Sareng kumaha anjeun ngabantosan kami? ", Saur Duryudono pikeun ngagentoskeun tegangan antara tamu anu teu nampi ieu sareng adik-adiknya anu ambek. "Saé, Raja ... Nagara ieu sanés sanés ti Wiratha. Di luar warta anu sumebar, nagara ieu langkung suksés sareng suksés tibatan Astina Pura. Di komunitas internasional, Wiratha disauran payuneun Astina ... " "Maka, kumaha anjeun ngalereskeun pamor Astina ???" "Solusi anu panggancangna nyaéta narajang sareng ngancurkeun Wiratha. Ieu ogé mengembangkeun koloni Astina Pura ... " "Hmm ... menarik ogé usul anjeun. Tapi naon anu anjeun laksanakeun sareng ngahalangan Wiratha ?? ” "Ha ... ha .... kuring henteu ngahargaan ka Raja mana waé. Kuring henteu hoyong dilegakeun wilayah Tri Hargo, kuring parantos ngagaduhan cukup karajaan najan kuring henteu ngagaduhan pantai sareng laut. Kuring ngan ukur dendam sareng ngadek ngan ukur ku Raja Wiratha. Taun ka tukang, usul ka Raja Wiratha hiji-hijina putri ditolak. Abdi ngaraos dihina sareng menyakiti dugi ka ayeuna.Ku sabab kitu, kuring ngajak anjeun kamulyaan babarengan pikeun nyerang Wiratha, mangga angkat harta rampok, wilayah jajahan, sareng rampasan perang sanésna. Kuring ngan saukur kapaksa putri karajaan janten pamajikan. Kumaha, pikaresepeun sanés ?? Deal ??? "Wahhh, enya menarik pisan. Tapi yakin sakumaha urang tiasa ngéléhkeun Wiratha? Naha anjeun terang aranjeunna gaduh senopathies kembar anu sesah dicocogkeun. Radén Rupa Kenca sareng Pura Kencaka ??? ” "Ha ... ha ..., entong hariwang, Raja ... Kadua senopati andana Wiratha parantos maot, tilar dunya, nyaéta maot. Disebutkeun yén éta dilaporkeun dibunuh ku Gondoruwo, tapi Raja henteu percaya yén anjeunna nuduh danyang karajaan rajapati. Ayeuna, karajaan danyang ngantosan hukuman pati ... " "Ah, masak ... nyaan, dua prajurit anu kuat pisan, kumaha aranjeunna gampang dipaéhan ???" "Jang Raja ..., ieu carita na ..." Dalang di layar tengah eureunkeun pamandangan ieu, carita flashback Raja X digambarkeun dina refleksi kalangkang dina layar kalayan bantosan proyektor. Hadirin ningali lampu bayangan - adegan bayangan carita kumaha pupusna dua kembar senopati. Kuring baris teraskeun nyerat waktos salajengna ... Dina layar utama kalayan bantosan proyektor sareng buku catetan anu dipangku ku dalang tukangeun layar anu dihareupeun panongton.Dina Karajaan Wiratha ... Wiratha mangrupikeun karajaan anu ngabatesan Astina, dipimpin ku Prabu Mastwapati. Raja gaduh tilu putra, Seta, Utara, Wratsangka sareng hiji putri Dewi Utari. Raja ngagaduhan dua duka awéwé Kencaka Pura sareng Rupa Kenca, duanana pejabat senior (patih) di Karajaan Wiratha. Ieu carita Raja Tri Hargo "Kieu carita anu kuring didengekeun tina kecap sandi Raja kuring," saur Raja Tri Hargo ka Prabu Duryudono. Dina waktos éta, Kencaka Pura ngagoda Salindri (Salindri mangrupikeun nami samaran Drupadi, anjeunna damel janten palayan putri karajaan Dewi Utari). Paripolah Kencaka Pura, anu badé dipenjara Salindri, ngadadak dicandak ku batur atanapi hiji hal. Kumaha bae caritana éta jelas Kencaka Pura nyoba tarung panyerang. Tapi Kencaka Pura teu boga kakuatan pikeun ngalawan. Ahirna maot, maot, maot, binasa. Kencaka Pura tiwas. Adi rayi Kencaka Pura, salajengna Kenca Rupa anu katarik ku kaéndahan penampilan sareng awak Salindri. Ngirut ... "Wa la dalah .... aya budak awéwé geulis waé di tengah taman ... Kuring ogé gebet," saur Rupa Kenca (RP) pikir. Teras ngamimitian ngagoda RP Salindri .. "Suit ... jas ....", mimiti ku kacapi leutik."Um ... um ... éta putri ... meureun kuring kenal anjeun?" "Ki baraya ... enya, panginten ngan ukur jalma anu teu kenal teu tiasa? Nami abdi Salindri, di Wiratha mah sanés putri, ngan pembantu sareng penari wungkul. " "Kuring ningali ... tapi kaéndahan anjeun éléh Déwi Ratih di surga anjeun ...", RP mimiti ngarayu ... "Hatur nuhun Radén ..., hapunten kuring badé heula ..." "Na..na .., sakedap ka. Naha urang buru-buru, kumaha dugi ka urang tukeur jumlah telepon sélulér sateuacan henteu texting yo ...? " "Wah ... henteu peryogi Radén, kuring ngan saukur abdi menteri waé. Leres, abdi henteu ngagaduhan telepon sélulér, naon kanggo ... " "Oh ... Dinten, henteu ngagaduhan telepon sélulér ???? Tapi hayu janten GPP, ngan urang terang. Engkéna, moal ngagaleuh telepon sélulér. Kuring janten panampa Karajaan Wiratha, Patugas Bérés. Patih ... Janten, anjeun terang anjeun sorangan. Kuring ngagaduhan seueur proyek, kuring ngagaduhan anggaran sorangan anu abdi tiasa ngatur. Cukup waé HP, ngan batuk, sapertos Vendor - vendor bakal resep anu kuring nyauran. Leres ... leres ... naha urang bakal terang anjeun? Atanapi sapertos kieu, upami anjeun henteu hoyong berkenalan, kami bakal ngan saukur gélo, bobogohan budak ayeuna. Oké hah? " "Wah ... ieu Radén lo, henteu peryogi ya huh Radén.Kuring parantos ngagaduhan batur, abdi nikah ... " "Ahhh ... salaki can diatur engké ..., Salam ka salaki anjeun ??? Nebak naon pangkat? Sareng saha anu langkung kasep, naha anjeun salaki kuring ??? Nya, upami anjeun henteu hoyong kaluar, hayu urang kawin. Kumaha ngeunaan ?? ", bari ngusapan RP mimiti teu sopan "Wah ... moal janten Radén, kuring henteu tiasa sareng éta henteu mungkin" "Sakali deui ... Abdi resmi anjeun, abdi tiasa maksa saha waé pikeun nurutkeun kahayang kuring, kalebet anjeun anu ngan ukur catur, abdi, abdi-batur "Entong Radén ..." "Naon anu anjeun hoyong atanapi henteu ??" "Ieu moal Radén ..." "Kami lah, Anjeun naroskeun moal maksa, huh ...? Saé harita, anjeun moal tiasa ngalakukeun padika halus. Kuring biasa nganggo cara ... !!! " RP mimiti maksa Salindri ku cara anu kasar. Tapi ujug-ujug nalika RP parantos maksakeun Salindri sareng nalika éta nyekelan leungeun Salindri, RP mimiti ngajerit dina nyeri. Maka paeh ku tatu cut dina beuheung sareng nonjol panon. Entong mendakan saha waé anu dipaéhan "Kitu kumaha Raja, dua senat utami tina Wiratha parantos tiwas," Raja Tri Hargo tutup carita. "Janten ayeuna waktos anu pas pikeun nyerang Wiratha kanggo dilegakeun koloni Astina.Abdi henteu nyuhunkeun nanaon ogé. Kéngingkeun karajaan sareng sadayana harta anu dirusak janten milik Karajaan sareng Karajaan Astina. Oakay ?? Kuring ngan ukur hoyong Dewi Utari. Kuring ogé nahan dendam ngalawan Raja Wiratha, naha usul kuring ditolak? "Hemmm, menarik tawaran ...", jawab Raja Duryudono anu kagét ku kakayaan sareng kakawasaan. "Kuring satuju sareng ulem anjeun sareng tawaran, ayeuna nyiapkeun pasukan anjeun. Prajurit Astina bakal nyerang Wiratha ti tapel kaler, mangga Angkatan Tri Harga nyerang ti wates kidul ... " "Ha ... ha ... ha ..., hatur nuhun janten Raja. Rupa, kiriman ... kuring sareng pasukan Trihargo ngantunkeun ayeuna ... ". Raja Tri Hargo mundur ti Pisowanan. "Incu Prabu Siliwangi ..." Resi Bhishma nyoba ngaganggu paguneman éta. "Leres Kakang Prabu, naon deui usul na? Naha aya TOR acan atanapi henteu ??? " "Hemmm ... anjeun mangrupikeun pejabat pangluhurna karajaan, janten orientasi proyék diteruskeun. Cucu Prabu Siliwangi, hadé pikeun anjeun mikir deui perkawis serangan ieu dina Wiratha. Naha ieu moal nambihan musuh anyar, sanaos Raja Wiratha mangrupikeun dulur deukeut. Astina Barina ogé, kumaha datangna anjeun ngaladenan kecap anyar Raja Tri Hargo anjeun terang. Kalayan janji anu manis anjeun tiasa diboyong. Anjeun henteu tiasa ditapsu atanapi hipnotis?Naha anjeun henteu, saleresna, éta éta raja anu sieunan, raja licik, raja jahat. Aplikasi Wong ditolak naha mencak - mencak. Upami anjeunna sopan sareng gagah, anjeunna bakal dihadapi ku Raja Wiratha nyalira. Éta milarian réréncangan, margi anjeunna henteu tiasa ngalakukeun nyalira, éta ngan ukur calo ... Anjeun ngiringan ... Raja sieun getih, sieun nyusahkeun, janten milarian réréncangan. Janten incu, anjeun kedah…. " "Parantos - enggeus ... Eyang nyarios teu nanaon, kuring henteu peryogi réncang sareng nasihat anjeun. Kuring bakal ngalakukeun proyék ieu kuring sorangan, upami anjeun hoyong ngiluan kuring, upami henteu, kuring henteu kedah ngaganggu anjeun ” "Kami ... leres enggeus, teu aya anu namina kuring di dieu ... kuring pamitan bakal mulih ka Talkanda. Drona, Karna, Sangkuni, kuring badé mulih ti heula. Henteu aya gunana upami anjeun parantos terang hasilna kedah teras ngiringan Boss ... Sampurasun ... " Resi ti Bhishma medal tina Royal Hall of Astina. Skrip tengahna nyarioskeun adegan percobaan di Karajaan Wiratha. Raja Maswapati ngiringan sareng nyobian sidang Salindri, abdi abdi Keputren, anu dituduh dibunuhan ku dua senopati Karajaan Radén Rupa Kenca sareng Kencaka Pura. "Salindri ... .., naon mertahankeun anjeun pikeun dituduh pembunuhan adi beuteung kuring?", Ngamimitian Prabu Matswapait nyempad Salindri sapertos hakim tunggal.-Prabu Matswapati- "Kaluhuran anjeun, ngantepkeun kuring pikeun membela diri supados kéngingkeun hukuman anu jahat pikeun musibah ieu. Nyatana, nalika pupusna Radén Kencaka Pura sareng Rupa Kenca, kuring dina posisi pikeun membela diri. Kusabab dina waktos éta duanana aya niat maksakeun abdi-abdi ngabdi hawa nafsu na. Kuring henteu kersa Mulya, Radén Kencaka Pura ambek tuluy dipareuman lampu kebon sareng maksa kuring, kumaha waé éta dumadakan kuring nguping ngajerit Radén Kencaka Pura, teras kuring lumpat. Dina amprok kuring dicegat ku Radén Rupa Kenca anu ngagaduhan niat anu sami. Abdi parantos ngayakeun éta, kuring teu tiasa ngalakukeun nanaon - khususna nalika Radén Rupa Kenca nyepeng awak kuring. Sadaya anu kuring tiasa laksanakeun nyaéta, ceurik sareng nyuhunkeun pitulung ti Anu Maha Widi. Kuring nyaan henteu terang naon anu kajantenan kusabab tina gelap dina waktos éta. Ujug-ujug Radén Rupa Kenca ngajerit nganggo awakna katutupan ku getih, maot. ... " "Wah ... anjeun damel - saha, teras anu maéhan duanana ??? Aya ngan dua anjeun ti éta waktos ??? " "Leres, ban, sajauh kuring terang, kami dua-hijina sareng Kencaka Pura sareng Rupa Kenca, teu aya deui manusa.Kuring pikir Gonduruwo maéhan aranjeunna, Raja ... " "Edannn ... anjeun anu langkung ngagebér, kumaha Gonduruwo maéhan dua pejabat teras bérés karajaan? Duanana mangrupikeun mangrupikeun unsur utama Karajaan Wiratha kusabab kakuatan kakuatan kakuatan gaibna. Salindri ... !!! Nanging anjeun pikir kuring bunuh rajapati atanapi sahenteuna upami anjeun henteu ngaku pikeun maéhan, anjeun parantos nyababkeun kanggo dibunuh. Sanaos dumasar kana kode karajaan, aranjeunna ngarencanakeun pikeun kuring kaluar tina korsi King, rajapati ieu teu tiasa dibenerkeun, maka anjeun kedah dihukum ... ” "Punten hampura luhung ..." "Ngahasilkeun kasalahan anjeun sareng ngingetkeun anjeun ka penjahat serius anu sanés, anjeun bakal dihukum ku nongkrong ... !!!" "Pangéran anjeun ... henteu aya pertimbangan ngeunaan naon anu kuring parantos dilakukeun sareng bakti ka karajaan sahingga kuring kedah nampi bentuk hukuman ieu? Abdi nyuhungkeun rahmat anjeun ... " "Hmmmmmm ... Salindri, mang anjeun sok ngalakukeun bageur sareng henteu aya catetan pidana sateuacan. Putri Utari kuring ogé ngajak kuring ngahampura anjeun. Tapi ... hukum nagara kedah dijunjung sacara henteu sopan, saha waé anu ngalakukeun salah naha nyaéta Raja, barudak, barayana, pejabatna, saha waé kedah dihukum.Kuring teu hayang otoritas sareng ngahargaan kuring dibahayakeun kusabab piliheun kuring. Teu aya anu tiasa ngabanting hukum naha éta artos, dasi getih, atanapi tekanan pulitik anu sanés. Ku sabab éta Salindri ... siap-siap - dina waktuna anjeun bakal nongkrong sakumaha hukuman anjeun. " "Aduhhhh sinuwun, mugia rahmat kuring, salaku awéwé anu lemah tanpa kantos ngalaksanakeun kanuragan, upami perang atanapi diajar kakuatan gaib, kumaha kuring kamungkinan maéhan duanana Senopati Perang Diraja ku leungeun kuring sorangan ?? Naha éta henteu pertimbangan sinuwun ... ??? Teras kumaha harga diri kuring anu sawenangna sawenang-wenang dileungitkeun sapertos hungkul ku dua prajurit ngan ukur pikeun nyampurnakeun hawa nafsu? Naha aranjeunna henteu pantes ngahukum ogé Raja ...? Maka kumaha kebijakan karajaan anu dina tulisan kedah ngajaga awéwé tina kekerasan sareng pelecehan ??? Punten hikmah tina prabu, anu kuring terang janten Raja wijaksana ” "Hmmmm, parantos - enggeus ... anjeun ngamimitian narékahan kuring" "Punten hapunten keagungan anjeun ...." "Rupa ... ogé kalayan tangisna awéwé kuring, kalimat anjeun disorot. Anjeun kedah ngantunkeun ayeuna sareng henteu balik deui ka Wiratha.Anjeun parantos janten aib sareng ngabalukarkeun bencana ” "Rébuan rébuan hatur nuhun pikeun hikmah sareng kamurahanana Anjeun. Nanging dupi kuring tiasa nawiskeun deui kaagungan anjeun, kuring nyuhunkeun tujuh dinten sanés sateuacan ngantunkeun Wiratha ???? " "Pasihan abdi alesan kunaon anjeun peryogi tujuh dinten. Jauh pisan ... " "Masih seueur pancén ti Putri Utari anu ku kuring henteu acan réngsé, Pérsib anjeun, dina tujuh dinten kuring karasa yén kuring cekap. Hubungan kami caket pisan, kuring kudu nyiapkeun perpisahan ieu pikeun kebaikan urang dua Raja. Naon deui, masih aya sababaraha tanggungan hutang sareng kawajiban abdi ka tatanggana di Keputren. Kusabab éta, kuring kinten, tujuh dinten mangrupikeun waktos anu sakedik abdi kedah atos sadayana éta, Pérsib anjeun. " "Hmmm, nuhun kuring parantos nyuhunkeun pamundut anjeun. Ayeuna, uihkeun deui ka keputren. Peryogikeun anjeun di dieu parantos lengkep ... " "Punten hapunten Pangéran ..." Sateuacan Salindri parantos mundur ti paviliun pengadilan, prajurit di gerbang wates karajaan tanpa disauran asup kana paviliun buru-buru sareng katempona pisan. "Punten hapunten sinuwun, Karajaan Trihargo, dipimpin ku Prabu Susarman (hooray ...!tungtungna kuring émut nami Raja ieu) bersekutu sareng karajaan Astina parantos dugi ka wates karajaan sareng sababaraha urang ngiringan pertahanan gapura wates. Aranjeunna ngalaksanakeun karusakan jeung serangan Sinuhun. Para petugas, patani, padagang, pamayang sareng pagawe anu saleresna henteu ngartos nanaon parantos janten korban tina Prubu ... " "Kami la dalah ... teu bener ... .............! Dasar dua raja henteu ngartos sopan santun, nyerang tanpa tangtangan sareng perhatosan. Alami, upami mental preman janten resmi, éta bakal janten sapertos éta. Seta ..., Wratsangka, ... Nyiapkeun paratri, kuring kuring sorangan bakal mingpin tantrasi raja anu kurang berpendidikan ieu. Kalér ..., anjeun jaga putri sareng karajaan, nyandak pasukan anu cekap pikeun ngiring anjeun. Entong urang tentara musuh ngadeukeutan karajaan sumawona puteri ... ” "Sendika dawuh Kanjeng Rama", waler Seta, Wratsangka, sareng Utara serentak. Teras aya perang anu teu saimbang antara Wiratha sareng sekutu antara Astina sareng Trihargo. Pondokna, dina perangna Raja Matswapati nyanghareupan Prabu Susarman. Prabu Matswapati éléh sareng suksés ditéwak sareng dicekel ku Prabu Susarman. Di tengah alun-alun Wiratha, Matswapati janten bulanan Prabu Susarman bulanan.Di sisi sanésna, ti tukangeun pasukan karajaan Astina nyerang, dipimpin ku Adipati Alengko, Radén Basukarno. Wiratha ngejat Di tengah alun-alun Wiratha, Raja Matswapati ditéwak ku Prabu Susarman sareng janten bulanan. Raja Matswapati ditakolan sareng dihina, janten tontonan pikeun tentara Trihargao sareng Hastina. Berita ieu langkung uninga sareng dikenal ku Wijo Kangka. Buru Wijo Kangka tepang sareng rayi anu bobo di pasar karajaan, Jagal Abilawa. -Abilawa- Kalayan ucapan salam anu janten karakterna Wija Kangka ngajantenkeun rayi. "Bilawa ... adi kuring, anu rugi pikeun awakna, naha anjeun resep saré di pasar bari karajaan Wiratha katelah perang sareng ayeuna di tungtung runtuh. Henteu pantes sareng tempat anu henteu, anjeun salaku warga karajaan salaku tampa tanpa raos ngarawat kaayaan nagara ieu. Bilawa .., hudang adi kuring. Lebetkeun énergi sareng kaahlian anjeun pikeun ngaharepkeun Karajaan ... Hudang Bilawa hudang. "Waa .... abdi henteu bobo ...., sanaos panon kuring ditutup pikiran kuring hudang. Kuring terang sadayana anu kajantenan dugi ka ayeuna. Tapi kuring duka teuing, kuring henteu daék ngabéla Raja sareng pamaréntahanana anu henteu paduli nasib rahayat anu dijaga. Tanpa dicaritakeun, kuring bakal membela Raja sareng awak sareng kahirupan abdi upami Raja paham kana kasusah sareng penderita umat-Na. Tapi naon anu lumangsung ayeuna ???Pamaréntah sareng elit karajaan ngan ukur mikir sorangan sareng kelompokna. Aranjeunna ngan ukur milarian cara gampang pikeun ngabéréskeun masalah. Aranjeunna terang yén jalma ngalaman kasusah, tapi aranjeunna ogé nuju nambihan kasusah jalma-jalma. Aranjeunna henteu hurung sareng teu tiasa ngatur harga kabutuhan dasar rakyatna. Kadaharanana beuki mahal, pasokanna terbatas sareng sesah milarian. Bahan bakar beuki langka ... Hargana naék. Nalika padagang spekulator maénkeun sakumaha aranjeunna resep ku ngaleungitkeun kauntungan anu teu leres. Panaséhat karajaan sareng pangawal karajaan dina pertimbangan karajaan sapertos barudak. Sadaya anu aranjeunna anggap nyaéta paningkatan gaji, paningkatan kauntungan sareng liburan ka nagara tatangga ku ngalaksanakeun baraya kalayan biaya nagara. Kumaha pamarentahan siga kitu ???? Naon anu kedah dibela nalika siga kieu ??? Cikan Wiratha hancur, panginten langkung saé sapertos kitu. Éta tiasa janten nasib anu langkung saé lamun janten koloni nagara sanés. Tinimbang anu dipimpin ku bangsa sorangan, tapi dina kanyataanana seueur jalma beuki miskin. Kanggo naon anu diatur ku bangsa sorangan upami pamaréntahan ngan ukur sisi kakuatan sareng jalma anu ngagaduhan kakayaan ?? Upami kuring ngabela kaayaan ieu, maka anu kuring caket pikeun kapentingan éta. Naha Kakang daék nanggung dosa kuring pikeun mertahankeun pamaréntah despotik ??? Hayu eta Kakang, ieu nagara dirusak.Urang tiasa ngantepkeun nagara ieu upami urang hoyong " "Aduh ... adi kuring, Kakang ngarti naon anu anjeun karasa sareng anu dirasa. Kakangpun karasa cara anu sami. Tapi adi kuring ..., ayeuna waé sanés Raja sareng pamaréntah anu bahaya. Kaseueuran jalma langkung sangsara. Pejabat raja sareng padagang gedé gampang disimpen adina kuring. Sabagian aranjeunna ngungsi, ninggalkeun karajaan. Nalika jalma-jalma leutik, patani, pamayang, padagang pasar moal tahan nyeri sareng teu aya kabisa pikeun lolos amukan tentara Tri Hargo sareng Hastinapur. Aranjeunna kaleungitan seueur kakayaan, langkung-langkung aranjeunna kaleungitan rasa kaamanan sareng perdamaian anu ku aranjeunna karasa, euweuh masalah kumaha macét pamaréntahan anu ayeuna. Bilawa ...., anjeun ogé kedah émut yén kami ampir sataun tunggang di Wiratha, henteu ngan ukur di karajaan tapi urang ogé naek di masarakat. Abdi janten pasar lurah, sakedik alit, ngaraos yén subsidi padagang pasar janten ganti rugi pikeun jasa kuring salaku lurah. Lanceuk kuring, anjeun sorangan salaku tukang meuncit sapi sareng munding, ogé karasaeun kabeungharan kota kota ieu sareng padagang daging. Kusabab tina Bilawa, kumaha datangna éta ironis yén urang ngan ukur karasaeun ku sangsara jalma di handap ieu.Bilawa ..., alusna upami anjeun henteu satuju sareng pendapat Kakang ieu, supados Kakang bakal maju ka medan perang sareng sadaya watesan anu gaduh Kakang. Teras istirahat sareng bobo sateuacana ... " "Waa ... ... leres, kuring parantos ... Ti mimiti dugi ka maot kuring hormat Kakang di tukeran ku bapa di dunya. Ku sabab eta, mangga ngadoakeun berkah, mangga urang mogok para koruptor karajaan Wiratha. Abdi angkat! " Bilawa angkat ka medan perang, sareng salah sahiji Prabu Siliwangi Susarman tiasa éléh Bilawa sareng tiwas di tengah alun-alun Wiratha. Raja Matswapati tiasa dibébaskeun Bilawa. Dina waktos anu sami janten panangkaran Prabu Matswapati ku Prabu Susarman. Nyaho yén pertahanan Karajaan éta ampir rusak, Kalér anu sakuduna ngabela karajaan sareng Keputren bergegas asup ka Keputren kanggo ngajak adina lolos, tapi ditolak ku Dewi Utari. Di Keputren kajawi Dewi Utari sareng danyang - sareng hanjakalna ogé aya Wrahatnala (anu saleresna mah Radén Arjuna) salaku tarian sareng instruktur musik. "Utari .... Akang, ayeuna kaayaan karajaan mah pasti pisan sareng ampir rusak. Pasukan karajaan Wiratha henteu deui tahan salami panyerang ti dua pihak karajaan.Kusabab kitu, Utari, buru-buru sareng urang kabur tina karajaan ... " "Urang dalah ... Balik, meureun pasukan karajaan parantos kacelakaan sareng dielok deui. Nanging tetep aya Kakang Utara, Senatha Wiratha andalan anu masih kénéh saé. Naha Kakang henteu nyanghareupan perang éta ?? " "Utari, pasukan musuh anu kuat teuing pikeun ngurus, tentara dua satru anu hébat anu dihijikeun nganggo senjata anu lengkep moal dicocogkeun ku adi kuring. Ku sabab kitu, tibatan urang ditawan atanapi dibunuh, urang kedah langsung kabur. " "Ooo ..., janten Kakang Utata sieun? Alih ... punten pindahkeun kuring bakal teraskeun salaku senopath harita. Utari moal sieun maot pikeun membela kaagungan sareng integritas karajaan, sanaos kuring ngan ukur awéwé. Sahenteuna kuring ogé diajar seni beladiri sareng strategi perang. " Élmu anu nuturkeun paguneman barayana nyéépkeun. "Sampurasun kuring putri sareng Radén. Teu kénging leres Putri Utari lebet perang bari Radén Utara salaku senopati karajaan éta ngan ngantosan atanapi malah kabur ” "Hé ... Wrahatnala, ieu sanés masalah kawani atanapi henteu. Karajaan Sunda badé rubuh, sedengkeun kakuatan musuhna gedéna.Barina ogé, upami kuring angkat ka perang, moal aya deui palatih anu tiasa ngadalikeun mobil perang kuring. " "Hapunten, Radén, upami kuring janten palatih Radén dina perang ieu, kumaha éta?" "Wee ... lah, anjeun ngan ukur wandu, sissy anu tiasa ngan ukur ngajar sareng musik. Kumaha anjeun tiasa janten palatih kréta ?? " "Mudah-mudahan Raden tiasa, sahenteuna kuring bakal ngarobih kahirupan kuring di medan perang ieu. Kuring baheulana kalebet perang perang Radén Arjuna, mediator Pandawa. Janten abdi gaduh pangalaman dina éta ” "Kami ... Nya, leres naha anjeun kantos palatih Arjuna, putu kuring?" Katingali tina keturunan Pandawa saleresna putu ti Buyut Prabu Matswapati anu kitu putu ti Raden Utara. Kuring bakal nuturkeun silsilah ieu waktos sanésna (upami anjeun émut atanapi mendakan ... ngarti, kuring hilap - hilap diinget). "Radén leres, janten urang cobian waé upami Radén leres wani janten panglima perang pikeun nyanghareupan Karajaan Trihargo ieu" Sabenerna Radén Kalér kagum kana perang dina waktos ieu, ngémutan yén gabungan gabungan tina dua kakaisaran nyerang sigana teu mungkin kalah. Sumawona, Raja Matswapati parantos aya tawanan ka Raja Susarman.Tapi kusabab isin ka adina sareng rencang, manah tacan perang. Syahdan dina perangna sareng musteration Wrahatnala, Radén Utara teu tiasa nunjukkeun kaahlian perang na sapertos Royal Senopati kusabab kasieun sareng kasieun ningali laut anu teu saé tina pasukan musuh. Konsentrasina sumebar. Ningali sinyal ieu, Wrahatnala ogé ngusulkeun ngarobih posisi. "Wrahatnala, leres yén anjeun tiasa janten senopati tina perang ieu?" "Mudah-mudahan Radén, salami Radén Kalér sanggup janten palatihna" "Kami ... Anjeunna masak kuring janten palatih, sim kuring minantu sareng senopati Karajaan. Naha kuring tiasa janten palatih Anjeun, instréktor nari sissy ?? Serius Kuring henteu daék… !!! ”Masih teu séhat Radén Utara. "Bener Radén, tapi ayeuna di medan perang, teu di Keputren. Sareng waktos ieu kuring janten Senopati kumargi Radén teu mampuh. Di medan perang ieu, henteu aya Putra Raja atanapi abdi dalem. Aya ngan ukur panglima perang sareng pelatih. Upami Radén henteu purun janten Panglima Perang, pilihan bakal janten palatih. Atanapi urang uih deui ka Keputren sareng Radén Utara pikeun ngalamun sateuacan Adinda sareng Keputren anu sanés ?? " "Hemmm ... ogé, kuring parantos, janten kuring janten palatih ngan ukur waktos ayeuna.Tapi ulah ngawartosan ka saha waé - upami kuring janten palatih, oke ... " "Senden Radén Radén .." "Hayu angkat ka karéta, hayu atuh palatih éta" "Tapi Radén, kuring henteu mawa senjata naon waé. Abdi peryogi pakarang pikeun nyanghareupan musuh bersenjata pinuh. Kita angkat ka moor di gigireun alun-alun karajaan pikeun kéngingkeun peralatan perang heula ” "Kuring ningali, henteu nanaon, naon waé anu anjeun pikahoyong" Aranjeunna dugi ka moor wétaneun alun-alun anu janten arena perang. Dina sawah anu reujeung tangkal shrubs sareng pepelakan baseuh, aya hiji tangkal asem sareng daun kandel. Dina tungtung luhurna tangkal asakan ngagantungkeun bungkusan bodas anu mirip pocong. Paket kasebut ngandung pakarang utama Arjuna kalebet Pasopati sareng Pulanggeni dina bentuk panah. Kadua senjata ieu unik sareng gampang diakui salaku pakarang utama Arjuna, ngan ukur Arjuna. "Radén Utara, di tungtung tangkal asem Radén ningali nongkrong gantung ku lawon bodas, punten Radén nanjak sareng nyandakna kanggo kuring" "Urang ... pipi. Abdi putra anjeun, Royal Senopati. Naha anjeun henteu nyarioskeun pethekelan pikeun milih tangkal asem ... Ah anjeun leres-leres Wrahatnala ... ” "Radén Utara, mangga émut. Ayeuna kuring senopati perang sareng Radén palatih.Tugas supir mangrupikeun ngaladénan sareng turutan pesenan Senopati nalika dina medan perang. Ayeuna Senopati ngajak pelatih pikeun nyandak bungkusan senjata dina pucuk asem, kumaha? Upami urang henteu kersa, maka urang bakal uih deui ka Keputren. " "Wah, kena pencét deui ... Sumuhun, kuring parantos naék, tapi anjeun henteu nyarios ka saha waé - anu upami kuring naek tangkal asem pikeun anjeun huh." "Senden Radén Radén" Radén Utara ngagaduhan pocong dibungkus ku lawon bodas. Dibuka ku pocong ku Wrahatnala. "Hé ... Wrahatnala, kuring terang pisan kana senjata éta. Pasopati, Pulanggeni, sareng kris ……… .Ing putu abdi Arjuna. Dimana anjeun meunang éta, anjeun kedah nyolong éta. Hayo ngaku, upami anjeun henteu ngaku gé ngantep anjeun ngéléhkeun anjeun ayeuna di tempat ieu ogé ” "Sabar Radén, Grand Kalér ... Leres, sim kuring cucunda Arjuna ..." Bejakeun Wrahatnala ngeunaan dirina anu leres, alesan panyamaran anu dimulai tina kaulinan dadu Puntadewa sareng Duryudona, ka mana baraya sanésna ogé dina waktos ayeuna. Tapi, Wrahatala nyuhunkeun rusiah ieu dijaga kalayan tetep dugi ka wates waktos sésa 3 dinten ka hareup. "Wah anak incu abdi, tétéla anjeun caket pisan ka kami. Kumaha datang teu terang ???Waduh ... tah éta cap, Bilawa, kinten pangsen ?? Wah, kumaha datangna kami bodo, kami teuing pikeun miceunan anjeun guys. Janten Salindri mangrupikeun Drupadi. Weléh Drupadi ... Drupadi, ampir Rama Prabu Siliwangi maéhan anjeun ku panangan sorangan ... Hatur nuhun Gusti, anjeun parantos nyalametkeun kami tina kamalalu sareng jahiliah ieu. Leres, parantos Wrahatnala, margi anjeun Arjuna. Hayu ku putu uing, kuring bakal ngaji mobil ieu. Abdi saé pisan ayeuna ngontrol karéta sareng warlord anjeun incu abdi ” "Hayu, Mbah. Hapunten, kuring naek karéta " "Hayu, punten angkat. Anjeun nuju senopatik ayeuna, kuring palatih. " Kaayaan dina medan perang. Di sisi hareup karaton karajaan, Bilawa ngadepkeun pasukan Tri Hargo, sanajan Raja Susarman maot, Tri Hargo masih ngagaduhan ratusan senopat jeung rébuan pasukan perang. Nalika janten berserk sareng polo rujak polo. Bilawa dibantuan ku satengah pasukan Wiratha nu ngajaga wates tukang karajaan. Sanggeus leungitkeun harepan sabab Raja Wiratha direbut, waktos ieu pasukan Wiratha meunangkeun sumanget sareng kakuatan. Tétéla perang ngarah kameunangan tentara Wiratha. Lalaunan, léngkah-léngkahna pasukan Tri Hargo mundur kana garis wates di tukang karaton. Di sisi hareup karaton, Pasukan Hastina paréntah ku Prabu Basukarno beuki ngadeukeutan gapura karaton.Satengah pasukan Wiratha usaha salamet sakedik salamet. Kalayan surak kameunangan jalur Hastina tiasa ngahontal gerbang benteng karaton nganggo panah. Dugi ka Wrahatnala nunjukkeun kakuatanana dina nyisahkeun jalur musuh sareng ngaleupaskeun panah anu ngaganggu pertahanan musuh. Hiji panah dileupaskeun, teras éta janten hujan rébuan panah di udara. Garis perangna Hastina langsung kabungkus. Seueur prajurit anu teu acan siap kanggo nyanghareupan serangan sapertos kieu. Dina masihan waktos ratusan prajurit murag. Furore sareng panik nyerang tentara nyerang. Di sisi anu sanés, garis Wiratha sigana ngagaduhan angin kadua. Aranjeunna ngadorong pikeun senopati anu énggal. Sumangetna beuki ningkat sareng teruskeun pikeun neruskeun nag pikeun nyorong deui musuh. Pasukan Hastina narékahan pikeun membela wilayah anu dikawasaana. Tapi hujan panahna moal eureun. Aranjeunna ngajaga diri tina hujan panah ku ngalindungan sirahna. Tapi ti payun, kavaleri Wiratha nganggo tumbak sareng gada di teraskeun leungeun, lunging, ngusapan, neunggeulan sareng teukteuk. Senopati sareng Senopati Karno ningal kaayaan ieu, janten anjeunna ngémutan kakawasaan gaib-Na. Karno dileupaskeun panah. Enggal, hujan panah ti Wrahatnala liren. Diganti Sora Cheers di sisi Astina. Balik deui Wrahatnala dileupaskeun sareng nyiptakeun hujan panah.Senopati Karno dimaksudkeun pikeun ngiringan, tapi ti kajauhan paripolah Senopati katingal ku Wrathatnala, gancang-gancang siga kilat Wrahatnala ngaluarkeun panah anu leres ngagambar Arrows of Basukarno's Senopati, rusak dua potongan .. Leres ieu mangrupikeun tanda pikeun Basukarno ngeunaan saha anu anjeunna atos ngadep. "He ... he ..." Prabu Basukarno ketawa jero. Anjeunna kahartos saha anu anjeunna nyanghareupan tibalik. Teu aya anu sanés ti adi rayi dina panah najan, Arjuna. Arjuna ogé kakang biologis sarébu ti Basukarno. Basukarno mesem sareng merung "" He ... he ... he ... kuring terang saha ieu anak ieu? Hmm yeuh adi kuring, kuring terang ieu anjeun. Hmm bageur, kuring ayeuna lega. Tétéla anjeun, adi kuring, anak Pandawa, aman sareng damai. Upami anjeun gaduh manah, Kakang ngungkabkeun rusiah anjeun anu ngan ukur tinggal dua dinten. Lajeng anjeun réngsé. Tapi anjeun terang, kumaha Kakang moal ngarugikeun anjeun ku cara hina ieu. Leres parantos Arjuna, waktos ieu cekap nya tarung di dieu. Aya hiji waktu nalika urang bakal pendak deui, meureun dina perang anu ageung engké. Kuring ngantosan teteh kuring ". Saatos ngaleupaskeun panah-hujan panah Wrahatnala panah, Prabu Basukarno nitah pasukan Astina mundur. Jadi tentara Astina mundur deui ka Karajaan Astina. Ngan pasukan Wiratha nyoréng kusabab meunangna kameunangan ieu.Balik karaton, tentara Tri Hargo henteu sanggup ngabela mundur tina Bilawa. Kaayaanana langkung parah, kaleungitan Raja sareng puluhan senopati. Janten invasi Wiratha tina dua sisi éta gagal. Peuting ka tungtung tungtung Pandawa. Saatos para penjajah diusir kaluar ti wates saacan perobahan ayeuna. Teu acan waktosna ka Bilawa, Wrahatnala, Wijakangko istirahat pikeun malikeun kakawasaan. Karajaan ngarasa kabutuhan ngagayakeun kameunangan ka Pahlawan Wiratha anu mulya. Karuksakan, karusakan, sareng raos kasangsaraan masarakat disababkeun ku perang dina sababaraha dinten kapengker parantos janten usaha anu kadua pikeun disageurkeun. Raja Matswapati percaya yén sumanget sareng harkat jalma sareng mata pelajaran kedah diumbar heula ku perayaan pikeun nyuntik semangat sareng kapercayaan dina haté sareng pikiran. Perayaan ieu dipikabutuh pisan pikeun ngarobih kapercayaan éta dina nami kabangsaan sareng nagara Wiratha ogé ka pamaréntahan karajaan. Perayaan ieu ogé ngabagéakeun Senopati Kalér ti wates payuneun Wiratha. Sadaya para istana, senopati, putri sareng danyang - danyang dugi ka mata pelajaran masarakat alit diajak ka balé istana karajaan anu leres teu diperyogikeun ku perang sahingga kamulyaan janten bagian tina Istana Diraja Wiratha tetep dirasa. Turut ogé di akherat Paseban sateuacan Raja, nyaéta Kangka, Bilawa sareng Salindri. Sedengkeun Wrahatnala sareng pangeran makuta Kalér teu acan katingal.Prabu Matswapati ngamimitian pidato ku nganyatakeun kareueusna sabab pangeran makuta parantos hasil ngaleungitkeun pasukan Hastina Pura. Éta naon anjeunna mikir sareng bangga. Ka sadayana anu hadir sacara henteu langsung, Raja muji kaéndahan sareng ketangkasan ka putra mahkota Radén Utara anu, sakumaha anjeunna terang, suksés ngusir pasukan Hastina tina payun karaton. Numutkeun kana warta anu dugi ka ceuli na, lawan anu disayuhan kalér sanés teu sasarengan, Adipati Karno. Hiji senopath kalayan kamampuan sareng kaahlian anu teu aya tandingan. Adipati Karno kaceluk ku kaahlian panahan anu ngahontal tingkat anu sampurna. Ogé dibéré senjata sihir ku ramana, Bethara Surya, dina bentuk keris kyai Jalak anu tiasa milarian musuh sareng ngancurkeun aranjeunna ku ngalaksanakeun waé saluyu sareng kersa Adipati. Karno ogé ngagaduhan panah, kunta anu dipasihan ku Bélara Guru. Tapi éta henteu hartosna nanaon ayana ayana Kalér, putra karesepna. Kanyataanna Kalér bisa ngatasi sagala kakuatan tina Adipati Karno. Ieu tangtosna prestasi anu luar biasa. Ieu mangrupikeun prestasi anu kudu dibanggana sareng kedah diapresiasi ku sadaya subjek sareng aktivis Wiratha. Prabu Matswapati badé nunjukkeun ka bangsana yén Nagara sareng karajaan aya dina kendali aman, pamaréntahan dipercaya pisan pikeun tiasa ngatasi masalah anu kedah dihadapi.Janten teu munasabah upami saeutik dissent timbul ti pamaréntah. Sadayana anu ngahadiran bersorak sareng satuju ku lisan Raja, sanaos seueur di antarana terang kana kaayaan nyata dina lapang. Tapi seuseueurna jalma anu hadir aya bunderan karajaan anu parantos netep kana posisi anu séhat. Aranjeunna parantos ngagaduhan fasilitas sareng pendirian anu parantos disalurkeun turun-tumurun. Éta teuing picilakaeun pikeun aranjeunna upami aranjeunna wani nentang naon anu dicarioskeun ka Raja. Kanggo sabagéan ageung, naon waé anu kajadian di luar aranjeunna henteu paduli penting, kuring bagja. Dugi dugi ka kaambalan na Raja Matswapati pikeun naroskeun ka Kangka anu katingalina henteu gumbira kalayan suasana. Tina sikep sareng panon Wija Kangko, katingal yén aranjeunna henteu satuju sareng anu dipasihkeun ku Raja. Kangko, anu sabenerna Puntadewa, kasohor salami hirupna henteu kantos bohong. Kusabab sikep mulia ieu, Nu Maha Kawasa sabab hanjakalna, masihan kauntungan ka anjeunna. Puntadewa ngagaduhan getih bodas, henteu beureum sapertos jalur manusa sanés. Mimitian ti tungtung jaman baheula, nalika leumpang dina Puntadewa henteu keuna taneuh kusabab jiwa suci sareng raga. Di Wiratha, Kangka kaceluk pisan ku Raja kusabab kaahlianana dina maén dadu. Sababaraha kali Raja maén sareng diajar dadu olahraga ku Kangka.Janten rupina Kangka dina perayaan ieu henteu aya deui muhrim kanggo Raja. -Kangka Yogya- "Kangka ..., abdi bray sareng ningali kesan anu henteu resep kaayaan hajatan ayeuna. Aya naon ??? Anjeun bakal nyaksian ka diri kumaha Kalér nyungkeun pasukan Royal Wiratha pikeun mundur prajurit Astina dipimpin ku Basukarno ” "Hampura, sire, naon anu anjeun nyarioskeun teu leres" "Hé ... !! Henteu leres kitu ?? " "Leres na anu éléh Hastina sanes putra Kalér, tapi Wrahatnala" "Ah ... naon waé anu anjeun teu jelas, kumaha éta sissy Wrahatnala tiasa ngalawan hiji pertandingan, sumawona eleh Karno ?? !! Jelas putrana urang Utara kalebet maju dina perang sareng anjeunna menang !!! ” "Henteu keagungan anjeun, anu meunang perang Wrahatnala" "Anjeun haram jadah ... Anjeun wani tarung ka kuring ?? !!" Raja Matswapati nungtut amarah. Rasa dikilani dada, ngémutan martabatna, ngina sombongna. "Juara Kalér ... Leres atanapi henteu ??? !!" "Henteu, Wrahatnala tiasa ngatasi prajurit Hastina" Raja Matswapati henteu tiasa deui amarahna. Anjeunna nyayogikeun cupu (pot) tina pepelakan hias caket dieu, dialungkeun ka Kangka.Katuhu ngeunaan kuil Wija Kangko, bait anu rusak rusak getih bodas seger. Sateuacan getih getih suci anu ngalir turun ka wiratha anu grisly, Salindri anu aya disisi Kangka naékkeun tapak tangannya, ngumpulkeun getih suci. "Salindri ... !!!" bentak Raja Matswapati. "Naon anu anjeun lakukeun, naha anjeun sumpingkeun leungeun anjeun siga kitu ...? Parantos ngantosan Kangka, anjeun henteu kedah ngurus éta. Kantenan ngan ukur anjeunna nampi hukuman anu pantes pikeun nentang Raja ... " "Aduh .... Sinuwun Prabu Siliwangi, hapunten impudence kuring. Salaku pamajikan, kuring wajib miara salaki kuring anu nyeri. Di sagigireun, hanjakalna kanggo kuring, getih suci ieu nalika ngirep bumi. Ku sabab eta, getih salaki kuring, ku kuring disusu ku leungeun kuring sorangan. " "Wah .... ngan ukur anjeun. Barina ogé, soré ieu anjeun kedah nyayogikeun hukuman pati kusabab pembunuhan Royal Kencaka Pura sareng Karajaan Rupa Kenca Sapeuting parantos tabuh-enjing parantos, beurang parantos robih, enggal subuh wetan bakal ngadeukeutan. Di luar aula aya gundul sapertos tembok bata rusak. Perang Senopati parantos mulih sareng kameunangan. Teu kalér anu mingpin pasukan, tapi Wrahatnala anu aya payuneun. Rombongan ieu asup ka balé istana.Heran ka raja ningalian ieu, tapi kareueus pikeun putrana nutupan sadaya. Salam, dirangkul sareng dicium putra karesep anu numutkeun anjeunna parantos meunang perang. "Ha ... ha ... ha ... Wilujeng sumping di senopatiku, kaler .... Kuring bangga anjeun kusabab Adipati Karno anu kawasa, anjeun parantos éléh putra anjeun. Teu kedah lami ngantosan, abdi enggal bakal nunjuk anjeun janten raja di tempat kuring kalér ... ” "Hampura, Rama, biang kuring dewasa ..." "Leres ... kumaha ??" "Rama Prabu, saleresna kuring sanés anu nuju mingpin pasukan sareng mundur satru ..." "Saha ... naon? Wrahatsangka ??? Atanapi meureun Seto ??? " "Sanés abdi ogé adi kuring ... "Saha deui anu kitu ???" "Wrahatnala ..." "Ah anjeun heureuy, serius. Kumaha sanggup Wandu tiasa mingpin tentara Wiratha ???? " "Rama Prabu Siliwangi dewasa, nyatana Wrahatnala sanés lain ti incu ti Rama, putu Si Permadi" "Eh ... ?? Naon anu anjeun lakukeun ??Datuk Buyut Permadi ??? ” "Sendika Rama, maka Kangka anu Ramanda cedera mastaka sanés sanés ti Puntadewa, enya Yudistira, Bilawa mangrupikeun Bratasena sareng dua urang kuda ngora sareng penjaga sato karajaan henteu aya sanés kajawi Nakula sareng Sahadewa, sinuwun ..." Perasaan Prabu Matswapati dina waktos éta dicampurkeun. Diantara éra jero bangga dina kulawargana sorangan anu tétéla salah sareng kabahagiaan anu luar biasa anu putu-putrana aman sareng dina ngalindungan karajaan najan anjeunna ngalakukeun éta waé. Prabu Matswapati ogé ngungun sareng ngenes kana dirina, naha rasa na rasa na éta terang. Naha enya jero haténa jadi pireu pikeun kaayaan sareng nagara-Na. Naha anjeunna henteu responsif ka Sasmita ningali getih bodas anu ngalir teu acan garing. Anjeunna kedah terang yén di jagat ieu ukur Yudisthira ngagaduhan fitur sapertos kitu. Anjeunna ogé kedah ngaraos Bilawa anu nyalametkeun nyéta nyéta dulur anu deukeut pisan. Sipat fisik Bilawa tiasa katutup, tapi sikep sareng sipatna konsisten, henteu mandiri, henteu sieun, sareng naon sababna kedah cekap pikeun nunjukkeun yén anjeunna Bratasena. Di luar subuh anyar parantos bitu ti cakrawala ti wétan. Moal lami deui srengenge bakal ngalaksanakeun kawajibanna, nyalawarkeun jagat raya, saalam dunya.Masihan pencerahan ka saha waé anu hoyong, tanpa pilih kasih sareng henteu nganggo string. Dunya ngarobih dinten-dinten, jatah dinten anu sanés pikeun saha waé, naon waé anu diréduksi di dunya. Prabu Matswapati, karasa cahya anu terang dina haté sareng pikiran. Kareueus sareng sombong anu dibarengan kakuatan sareng otoritas lalaunan sirna, tunduk kana tawaduk. "Aduh - aduh abdi anu hébat-buyut, caket dieu angger. Abdi badé nangkeup hiji-hiji hiji. Tilu welas taun henteu ningali pameunteu anjeun anu rindang sareng damai, parantos sapertos ayeuna mah kahirupan urang sadayana. Drupadi, Yudistira, Bilawa, Nakula, Sadewa ... Ah hemmm. Di ditu di dieu, kuring hoyong ningali sareng ngaraosan ramo anjeun hiji-hiji, incu abdi. Ah hmmm, awak sakitu hébat-aki. Ditilik ku umur kuring, kuring ogé geus kolot, tapi haténa jeung pikiran ngarasa bener kusam. Upami ditilik ku kalungguhan sareng kakawasaan, kuring Raja Gung Binathara, kabijakan sareng welas asih tina nini-nini kedah prioritasna tapi kanyataanana ngan ukur kongka sareng sombong. Nini-buyut-nini kuring, siga umur nini-nini moal langkung lami, nini-nini kedah nambihkeun pamor ngesti dikabdi pikeun kusta. Tapi nini teuing sugema sareng bukti duniawi. Uyut ... hapunten abdi ya ngger ... Wah dosa naon ari adi..hemmm abdi " Kawas banjir, hanjakal sareng tunggara Raja Matswapati ngalir sakumaha henteu liren.Gungun - nangis siga orok. "Enggeus nini-nini .." Yudistira lembut-terasan lega Raja. "Buyut-aki ... henteu kedah hanjakal pisan pikeun kajantenan anu kamari - kamari. Eyang, urang sadayana henteu kaseueuran sakedik, urang kedah nganuhunkeun sabab Wiratha parantos nyayogikeun tempat anu sampurna pikeun genep urang, ku kituna urang atos ujian anu beurat pisan. Tapi urang henteu tiasa ngalakukeun nanaon kajaba énergi sareng kesang urang. Abdi sareng dulur sadulur, kuring ngahaturkeun nuhun ka anjeun ikhlas sareng lintasan ka Gusti moho salamina pikeun naon anu parantos dilakukeun di Wiratha Eyang ... " "Duh Pandawa ... Pandawa .... janten mulya sareng sobat incu anjeun - incu. Teu heran yén anjeun putra Pandu. Leres, dinten parantos robih. Ieu waktuna urang ngatur diri urang sorangan saatos perang sareng huru-hara ieu. Ngan hiji anu hoyong nepikeun nini. Disaksian ku sadayana anu hadir di dieu, disaksian ku jagat raya sadayana, anu Maha Kawasa, dewa sareng malaikat, nini-nini jangji.Salajengna nalika perang Baratayudha diayakeun, kaayaan Wiratha sacara lengkep, Raja, para putra, senopati, para pendekar, sadayana ngabantosan anjeun Pandawa sateuacana jasa anjeun dina ngatasi serangan Hastina sareng serangan Triharga ” Janji Prabu Matswapati ieu dijaga, sakumna putra Wiratha senopati maot membela Pandawa sareng kabeneran dina dinten-dinten mimiti Perang Perang Baratayuda Jaya Binangun.

TerjemahanSunda.com | Bagaimana cara menggunakan terjemahan teks Indonesia-Sunda?

Semua terjemahan yang dibuat di dalam TerjemahanSunda.com disimpan ke dalam database. Data-data yang telah direkam di dalam database akan diposting di situs web secara terbuka dan anonim. Oleh sebab itu, kami mengingatkan Anda untuk tidak memasukkan informasi dan data pribadi ke dalam system translasi terjemahansunda.com. anda dapat menemukan Konten yang berupa bahasa gaul, kata-kata tidak senonoh, hal-hal berbau seks, dan hal serupa lainnya di dalam system translasi yang disebabkan oleh riwayat translasi dari pengguna lainnya. Dikarenakan hasil terjemahan yang dibuat oleh system translasi terjemahansunda.com bisa jadi tidak sesuai pada beberapa orang dari segala usia dan pandangan Kami menyarankan agar Anda tidak menggunakan situs web kami dalam situasi yang tidak nyaman. Jika pada saat anda melakukan penerjemahan Anda menemukan isi terjemahan Anda termasuk kedalam hak cipta, atau bersifat penghinaan, maupun sesuatu yang bersifat serupa, Anda dapat menghubungi kami di →"Kontak"


Kebijakan Privasi

Vendor pihak ketiga, termasuk Google, menggunakan cookie untuk menayangkan iklan berdasarkan kunjungan sebelumnya yang dilakukan pengguna ke situs web Anda atau situs web lain. Penggunaan cookie iklan oleh Google memungkinkan Google dan mitranya untuk menayangkan iklan kepada pengguna Anda berdasarkan kunjungan mereka ke situs Anda dan/atau situs lain di Internet. Pengguna dapat menyisih dari iklan hasil personalisasi dengan mengunjungi Setelan Iklan. (Atau, Anda dapat mengarahkan pengguna untuk menyisih dari penggunaan cookie vendor pihak ketiga untuk iklan hasil personalisasi dengan mengunjungi www.aboutads.info.)